Tenang Dalam Badai
Tenang Dalam Badai ~ Landasan firman Tuhan untuk tema tersebut diambil dari kitab Mazmur 46:2–3 (TB). Demikianlah sabda Tuhan, “Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, dan gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, dan gunung-gunung goyang oleh geloranya. Sela”
Beberapa waktu lalu, sebuah video viral di media sosial menampilkan penumpang kapal pesiar yang dihantam badai dahsyat di Samudera Pasifik. Di tengah kekacauan, seorang anak kecil tertidur lelap di pangkuan ayahnya. Tangisan dan teriakan penumpang lain tidak menggoyahkannya. Ia tenang bukan karena badai itu tidak berbahaya, tapi karena ia percaya pada siapa ia bersandar.
Kisah itu menjadi cermin nyata dari kebenaran rohani dalam Mazmur 46:2–3—bahwa ketenangan sejati tidak bergantung pada kondisi, tetapi pada siapa yang menyertai kita di tengah badai. Mazmur ini ditulis dalam suasana krisis besar.
Pemazmur menggambarkan bencana alam ekstrem: bumi berubah, gunung-gunung terguncang, laut berbuih dan bergelora. Ini bukan sekadar gambaran fisik, melainkan simbol dari kekacauan yang melanda kehidupan manusia: krisis ekonomi, pergumulan batin, penyakit, kehilangan, konflik rumah tangga, bahkan guncangan rohani. Namun, di tengah itu semua, ada satu deklarasi iman yang kokoh: “Kita tidak akan takut.” Mengapa?
Bagian pertama dari mazmur ini mengajarkan bahwa ketenangan bukanlah hasil dari tidak adanya badai, tetapi hasil dari pengenalan akan Allah yang hadir di tengah badai. Mazmur 46:1 menyatakan: “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan, sangat terbukti.” Artinya, sumber ketenangan bukan kondisi sekitar, tetapi karakter Allah. Ia adalah perlindungan (misgab, dalam bahasa Ibrani), tempat tinggi yang tak terjamah oleh musuh. Ia juga kekuatan (oz), yang menopang kita saat daya sendiri tak cukup.
Dalam tafsirannya, teolog Reformed Dr. John Calvin menulis, “Iman sejati tidak mengingkari adanya bahaya, tetapi berakar dalam keyakinan bahwa Allah lebih besar dari segala bahaya itu.” (John Calvin, Commentary on Psalms, Baker, 2009, hlm. 309).
Pemazmur
mengajak kita untuk melihat lebih dalam: badai bisa mengguncangkan dunia, tapi
tidak bisa mengguncangkan Allah.
Mazmur 46 menggunakan gaya puisi Ibrani yang penuh kekuatan: paralelisme, metafora alam, dan penekanan emosional melalui kata “Sela” sebagai momen refleksi.
Gambarannya tajam—gunung guncang masuk ke dalam laut (simbol dari kekacauan kosmis dalam tradisi Ibrani). Ini mengandung makna teologis bahwa sekalipun tatanan yang dianggap paling stabil dalam hidup (gunung dan bumi) hancur, kehadiran Allah adalah fondasi yang tak tergoyahkan.
Teolog Indonesia Pdt. Stephen Tong menegaskan: “Ketika segala sesuatu di bumi guncang, hanya orang yang berdiri di atas firman Tuhan yang tidak tergoyahkan. Karena firman itu kekal dan Allah tidak berubah.” (Stephen Tong, Allah Yang Hidup dan Firman-Nya, Reformed Injili Press, 2016, hlm. 182).
Renungan ini sangat relevan bagi gereja masa kini. Kita hidup dalam dunia yang secara harfiah dan simbolis sedang berguncang. Pandemi global yang lalu menggoyahkan fondasi kesehatan, ekonomi, bahkan iman banyak orang. Tapi justru dalam masa-masa sulit seperti inilah kita diuji, bukan hanya seberapa kuat kita, tapi kepada siapa kita bersandar.
Mazmur 46 mengundang kita untuk berhenti fokus pada badai, dan mulai melihat ke arah Allah. Di bagian tengah mazmur, Pemazmur menyatakan: “TUHAN semesta alam menyertai kita, kota Allah yang maha tinggi tidak akan terguncang.” (ay. 5, 8). Ini adalah deklarasi iman yang bukan hanya untuk masa lalu, tapi untuk setiap generasi yang hidup dalam badai.
Teolog Injili Timothy Keller menulis, “Ketika badai menerpa hidup kita, iman bukanlah pelarian dari realita, tetapi kekuatan untuk menatap realita dengan keberanian yang bersumber dari kehadiran Allah.” (Timothy Keller, Walking with God through Pain and Suffering, Penguin Books, 2013, hlm. 101).
Itulah yang membuat Mazmur ini tidak hanya menjadi doa, tapi juga deklarasi iman. Kata “kita tidak akan takut” bukan hasil dari motivasi manusiawi, tetapi dari relasi dengan Allah yang hidup. Dalam badai kehidupan, bukan kekuatan mental yang utama, tetapi kedalaman pengenalan akan Allah yang menyertai. Semakin dalam kita mengenal Tuhan, semakin damai kita berjalan dalam badai.
Di bagian terakhir mazmur ini, Pemazmur berkata: “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” (Mazmur 46:11). Ini adalah perintah ilahi—bukan hanya ajakan untuk tenang, tapi perintah untuk mempercayakan hidup kepada Tuhan yang berdaulat. Kata “diam” (raphah dalam Ibrani) berarti menyerah, melepaskan kontrol, dan membiarkan Allah bertindak.
Dalam kekristenan kontemporer, banyak orang berusaha mencari damai melalui meditasi, pelarian dari kenyataan, atau afirmasi positif. Tapi Mazmur 46 menawarkan damai yang melampaui semua itu—damai karena Allah hadir. Damai karena Allah bertindak. Damai karena kita tahu siapa yang memegang kendali.
Pdt. Budi Asali, M.Div., dalam pengajarannya menulis, “Ketika kita tahu siapa Allah itu—kudus, berdaulat, penuh kasih dan adil—maka kita bisa menyerahkan diri dalam tangan-Nya, bahkan ketika badai belum reda.” (Budi Asali, Penghiburan di Tengah Penderitaan, Literatur Reformed, 2017, hlm. 221).
Renungan ini bukan hanya sekadar pencerahan rohani, tapi panggilan untuk bertindak: Pertama, tetap dalam firman. Bacalah Alkitab setiap hari dan renungkan karakter Allah. Kedua, berdoa dalam kejujuran. Ungkapkan kegelisahanmu di hadapan Tuhan, dan izinkan Roh Kudus menolongmu. Ketiga, bersekutu dalam komunitas iman. Jangan berjalan sendiri di tengah badai. Komunitas Kristen adalah tempat kita saling menguatkan.
Dan yang terpenting: ingatlah bahwa ketenangan sejati tidak datang karena badai itu hilang, tapi karena kita tahu siapa yang ada bersama kita. Mazmur 46:2–3 bukan janji bahwa tidak akan ada badai, tapi jaminan bahwa badai tidak akan menghancurkan kita jika kita berlindung pada Allah.
Dalam hidup ini, badai tidak bisa dihindari. Tapi kita bisa memilih untuk tetap tenang. Bukan karena kita kuat, tetapi karena Allah kuat. Seperti anak kecil dalam pelukan ayahnya, mari kita tidur nyenyak dalam iman—karena kita tahu bahwa Bapa Surgawi tidak pernah tertidur dan tidak pernah gagal.
“Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, dan gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, dan gunung-gunung goyang oleh geloranya.” – Mazmur 46:2–3.
Post a Comment for "Tenang Dalam Badai"