Berjalan Dalam Kasih – Renungan Mendalam Efesus 5:2
Berjalan Dalam Kasih – Renungan Mendalam Efesus 5:2 ~ Landasan firman Tuhan untuk judul berjalan dalam kasih diambil dari surat rasul Paulus kepada jemaat di kota Efesus. Demikianlah sabda Tuhan, “Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah” (Efesus 5:2, TB).
Di sebuah halte bus yang ramai, seorang wanita tua tampak kesulitan mengangkat kantong belanjaannya yang berat. Banyak orang melintas, menunduk pada layar ponsel atau terburu-buru menuju tujuan masing-masing. Namun seorang remaja laki-laki berhenti, tersenyum, dan menawarkan bantuan. Ia bukan kerabat wanita itu, bahkan belum pernah bertemu sebelumnya. Namun tindakannya mencerminkan sebuah kasih yang hidup – kasih yang berjalan, bukan hanya diam.
Renungan ini mengajak kita menyelami panggilan dari Efesus 5:2: untuk berjalan dalam kasih. Bukan sekadar tahu tentang kasih, bukan juga sekadar bicara soal kasih, tetapi hidup dan bergerak di dalamnya. Paulus tidak menulis “berpikirlah tentang kasih” atau “ingatlah kasih” – ia berkata, “hiduplah di dalam kasih”. Kata kerja yang aktif, terus-menerus, dan menjadi gaya hidup. Dan dasar dari kasih itu bukanlah kehendak manusia, melainkan kasih Kristus yang lebih dahulu mengasihi kita.
Satu, Kasih Kristus Adalah Dasar Kehidupan
Kita (Efesus 5:2a).
Kasih adalah identitas orang percaya. Tanpa kasih, iman kita kosong. Kasih bukanlah aksesoris spiritual, melainkan fondasi dari seluruh kehidupan Kristen. Rasul Paulus dengan tegas menjadikan kasih Kristus sebagai titik tolak dari hidup kita.
“Sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu,” demikian kata Paulus. Kasih yang dimaksud bukan sekadar perasaan simpatik atau empati biasa. Ini adalah kasih agape, kasih ilahi yang tidak bersyarat dan penuh pengorbanan. Kasih ini tidak bergantung pada seberapa baik kita, seberapa setia kita, atau seberapa layak kita untuk dikasihi. Ia berasal dari karakter Allah sendiri.
John Stott menulis, “Kasih adalah esensi dari moralitas Kristen karena kasih adalah esensi dari Allah”. Dengan kata lain, karena Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8), maka siapa pun yang hidup di dalam Allah akan hidup dalam kasih. Tidak heran jika Paulus menjadikan kasih Kristus sebagai dasar dari segala etika Kristen.
Kasih ini adalah kasih yang menebus, bukan hanya kasih yang ramah. Kasih Kristus ditunjukkan bukan hanya dengan kata-kata atau niat baik, tetapi melalui tindakan yang konkret dan menyelamatkan. Itulah yang membedakan kasih Kristus dari kasih manusia pada umumnya.
N.T. Wright berkata, “Kasih Kristus bukanlah sekadar contoh etis yang baik; Ia adalah kekuatan yang mengubahkan dunia”. Dengan kata lain, ketika kita berjalan dalam kasih Kristus, kita tidak sedang mengikuti norma sosial, tetapi kita menjadi agen transformasi ilahi di dunia yang rusak.
Dua, Kasih
Itu Berjalan, Bukan Diam (Efesus 5:2b).
“Dan hiduplah di dalam kasih...”. Paulus memakai istilah “hiduplah” atau dalam terjemahan lain “berjalanlah” (walk in love). Ini menandakan sebuah perjalanan yang aktif. Kasih bukan sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang dinamis. Kita tidak hanya dipanggil untuk merasakan kasih atau mengetahui kasih, tetapi untuk melakukan kasih. Seperti seorang pelari yang terus melangkah, kita dipanggil untuk terus bergerak dalam kasih setiap hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, berjalan dalam kasih berarti mengampuni meski sakit, memberi walau terbatas, melayani meski tidak dilihat, dan memperhatikan meski kita sendiri lelah. Ini bukan soal perasaan, tetapi soal pilihan. Pilihan untuk mencintai meskipun tidak dibalas, untuk tetap sabar meski disakiti, untuk tetap baik meski disalahpahami.
D.A. Carson pernah menyampaikan, “Kasih Kristen sejati adalah kasih yang dibentuk oleh salib.” Ini berarti kasih Kristen selalu menuntut sesuatu dari diri kita. Kasih yang sejati akan selalu bertumbuh dalam konteks dunia yang tidak ideal.
Kasih dalam dunia digital misalnya, bisa berarti merespons komentar dengan sabar, menyebarkan berita yang membangun, dan menghindari ujaran kebencian. Di komunitas, kasih itu berarti menyambut orang baru, mendukung yang sedang bergumul, dan tidak mempergunjingkan kelemahan orang lain.
Dallas Willard menulis, “Kasih adalah kehendak yang teguh untuk kebaikan orang lain.” Jika kasih adalah kehendak, maka itu berarti kita bisa memilih untuk melakukannya, terlepas dari perasaan kita. Ini adalah kabar baik. Karena berarti tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengasihi. Kasih adalah keputusan untuk bertindak sesuai karakter Kristus.
Tiga,
Kasih yang Menyerahkan Diri (Efesus 5:2c)
“...dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” Di sinilah puncak dari kasih Kristus. Ia menyerahkan diri-Nya. Ini bukan kasih yang hanya berkata, “Aku peduli padamu”, tetapi kasih yang rela berkata, “Aku akan menderita demi engkau”. Pengorbanan Kristus adalah bentuk tertinggi dari kasih. Dalam dunia yang sibuk mencari kenyamanan dan menghindari penderitaan, kasih Kristus memanggil kita untuk sesuatu yang lebih dalam: kasih yang rela berkorban.
Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Jerman yang mati karena imannya di tangan Nazi, berkata, “Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggil dia untuk datang dan mati”. Kasih yang sejati tidak selalu nyaman, tapi selalu berharga. Kasih itu mahal, karena melibatkan salib.
Henri Nouwen, dalam bukunya The Wounded Healer, mengungkapkan bahwa kasih sejati lahir dari luka yang dijadikan berkat. Ia menulis, “Hanya hati yang terluka yang bisa mengasihi dengan sepenuhnya”. Dalam kasih Kristus, luka bukan akhir dari cerita. Luka menjadi jalan bagi kasih yang lebih dalam.
Ketika kita memilih untuk mengasihi seperti Kristus, kita akan menemukan bahwa hidup bukan hanya soal kenyamanan, tetapi soal misi. Kita menjadi “persembahan yang harum” bukan karena kita sempurna, tetapi karena kita bersedia dipakai untuk kemuliaan Allah.
Kesimpulan dan Aplikasi
Berjalan dalam kasih bukanlah tugas ringan. Ia menuntut pengosongan diri, kepekaan, dan pengorbanan. Namun di sisi lain, ia adalah jalan yang paling sejati bagi orang percaya. Dunia ini tidak kekurangan informasi, tapi kekurangan kasih. Di keluarga, gereja, tempat kerja, media sosial – dunia sedang menunggu kita untuk berjalan dalam kasih.
Mungkin kamu sedang berada dalam keluarga yang tidak saling memahami. Mungkin kamu berada di komunitas yang dingin. Mungkin kamu menghadapi rekan kerja yang keras kepala. Hari ini, Firman Tuhan mengajak kita untuk berjalan dalam kasih. Tidak harus mulai dari hal besar. Mulailah dari senyum tulus, sapaan hangat, telinga yang mau mendengar, dan tangan yang mau membantu.
Berjalan dalam kasih berarti melihat dengan mata Kristus, merespons dengan hati Kristus, dan bertindak dengan semangat Kristus. Saat kita berjalan dalam kasih, kita menjadi bukti nyata bahwa kasih Kristus masih hidup dan bekerja di dunia ini.
Doa:
Tuhan Yesus, ajarku untuk tidak hanya memahami kasih-Mu, tetapi juga menghidupi dan menjalankannya dalam setiap langkah hidupku. Bentuk hatiku menjadi seperti hati-Mu yang penuh belas kasih dan pengampunan. Dalam nama-Mu aku berdoa. Amin.
Post a Comment for "Berjalan Dalam Kasih – Renungan Mendalam Efesus 5:2"