Translate

Ketika Hidup Kita Disakiti Sesama

Ketika hidup kita disakiti sesama ~ Hidup disisihkan dan diusir dari lingkungan kita sungguh tidak menyenangkan dan juga sangat menyakitkan. Apalagi yang melakukannya ialah orang-orang yang kita kasihi atau yang dekat dengan kita atau keluarga kita sendiri. Tentu hal itu sangat menyedihkan dan memahitkan hati serta menyesakkan dada. Jika Anda berada dalam kondisi yang demikian, jangan sedih karena Anda tidak sendiri.

Yefta salah seorang tokoh yang diabadikan hidupnya di dalam Alkitab sudah lebih dahulu mengalaminya. Ketika ia diperlakukan tidak adil oleh saudara-saudaranya, ia bereaksi. Reaksinya ialah, “Maka larilah Yefta dari saudara-saudaranya itu dan diam di tanah Tob; di sana berkumpullah kepadanya petualang-petualang yang pergi merampok bersama-sama dengan dia” – Hakim-hakim 11:3

Hidup yang disisihkan dan diusir dari lingkungan acap kali membuat kebanyakan orang terjerumus ke dalam praktek hidup yang gelap, bersekongkol dan melakukan tindak kejahatan. Inilah yang terjadi dalam hidup Yefta. Ia menjadi pemimpin dari kelompok perampok, penjahat yang merampok dan mengganggu kedamaian orang lain, menimbulkan kecemasan dan ketakutan bagi orang lain. 

Kendati demikian, masih ada kesempatan bagi Yefta untuk bertobat dan berbalik ke jalan yang benar. Demikian juga dengan kita, sejahat bagaimana pun yang Anda lakukan, masih ada kesempatan untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Pertanyaan penting yang harus diajukan ialah: “Bagaimana reaksi yang benar ketika kita disakiti oleh orang lain dalam hidup ini?” Berdasarkan kitab Hakim-hakim 11:1-11 memberikan beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita, yaitu:


1. Tetap mengasihi walaupun disakiti.
Mengasihi orang yang mengasihi kita itu hal biasa. Berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita sudah seharusnya demikian. Bagaimana dengan orang yang melukai perasaan kita dan yang menyakiti hati? Bisakah kita dapat mengasihi orang yang demikian? Tuhan Yesus Kristus mengajarkan supaya kita tetap mengasihi musuh kita dan berbuat baik kepada mereka yang menyakiti kita.

Apalagi mereka yang melukai perasaan kita dan yang menyakiti hati kita, lalu datang minta tolong, minta bantuan kepada kita saat mereka mengalami keadaan yang sulit. Tentu secara natural manusia kita pasti ingat bagaimana mereka memperlakukan kita, bagaimana perbuatan mereka kepada kita.

Kondisi semacam itulah yang terjadi dalam hidup Yefta. Ketika bangsa Israel, keluarga dan saudara-saudaranya mengalami keadaan yang sukar, mereka datang meminta bantuan kepada Yefta. Penulis kitab Hakim-hakim menulis, “Beberapa waktu kemudian bani Amon berperang melawan orang Israel. Dan ketika bani Amon itu berperang melawan orang Israel, pergilah para tua-tua Gilead menjemput Yefta dari tanah Tob. 

Kata mereka kepada Yefta: “Mari, jadilah panglima kami dan biarlah kita berperang melawan bani Amon”. Tetapi kata Yefta kepada para tua-tua Gilead itu: “Bukankah kamu sendiri membenci aku dan mengusir aku dari keluargaku? Mengapa kamu datang sekarang kepadaku, pada waktu kamu terdesak?” – Hakim-hakim 11:4-7.
Tentu saja Yefta bisa menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan pembalasan yang setimpal kepada mereka sesuai dengan apa yang telah mereka perbuat kepada Yefta. Reaksi Yefta tentu sangat wajar, sebagaimana juga reaksi kita.

Pelajarannya bagi kita ialah orang yang dahulu melukai perasaan kita dan menyakiti hati kita suatu saat pasti akan berbalik meminta pertolongan dan bantuan kepada kita. Ketika kesempatan itu datang, jangan sia-siakan bahkan jangan gunakan kesempatan itu untuk membalas dendam. Jadikanlah peluang tersebut untuk Anda pakai sebagai jalan mengalami pemulihan hidup dan relasi sosial Anda. 

Gunakan kesempatan itu secara bijak dan penuh kasih karena kesempatan itu merupakan waktu pemberkatan Tuhan atas hidup Anda. Penulis kitab Hakim-hakim, menulis: “Kata Yefta kepada para tua-tua Gilead: “Jadi, jika kamu membawa aku kembali untuk berperang melawan bani Amon, dan TUHAN menyerahkan mereka kepadaku, maka akulah yang akan menjadi kepala atasmu?” Lalu kata para tua-tua Gilead kepada Yefta: “Demi TUHAN yang mendengarkannya sebagai saksi antara kita: Kami akan berbuat seperti katamu itu” – Hakim-hakim 11:9-10.

2. Tetap membawa masalah kepada Tuhan.
Yefta sadar dan mengetahui bahwa sesungguhnya segala sesuatu ada di dalam kuasa, kendali dan otoritas Tuhannya. Bagi Yefta, Tuhan adalah penentu hidup dan kesuksesannya. Kendati pun ada pengakuan dan pernyataan tegas dari para tua-tua Gilead untuk menjadikannya pemimpin atas bangsa Israel, Yefta tidak langsung jumawa, sombong dan lupa diri.


Penulis kitab Hakim-hakim menulis: “… Tetapi Yefta membawa seluruh perkaranya itu ke hadapan TUHAN, di Mizpa” – Hakim-hakim 11:11b. Tentu masih ada rasa sakit di hati Yefta. Pasti masih ada rasa curiga di dalam hati Yefta terhadap para tua-tua Gilead yang sudah bicara dan berjanji untuk menjadikannya pemimpin Israel. Semua konflik batin yang dialaminya, ia bawa dihadapan Tuhan Allahnya. 

Yefta masih ragu dan merasa belum percaya sepenuhnya kepada ucapan-ucapan dan janji-janji dari para tua-tua Gilead. Itu sebabnya, ia merendahkan hati di hadapan Tuhan Allahnya untuk meminta peneguhan. Yefta tahu bila tidak ada restu dari Tuhan, apapun yang diucapkan tua-tua Gilead, pastilah tidak menjadi kenyataan. Hal itulah yang memotivasi Yefta untuk berdoa dan mohon petunjuk dari Tuhan Allahnya. Sebab, bila Tuhan yang buka pintu, maka tidak ada satu pun manusia yang dapat menutupnya. Amin