Waspada Potensi Perpecahan Dalam Sidang Sinode GKRI Ke-12 di Sumatera Utara - Khotbah Kristen
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Waspada Potensi Perpecahan Dalam Sidang Sinode GKRI Ke-12 di Sumatera Utara

Waspada Potensi Perpecahan Dalam Sidang Sinode GKRI ke-12 di Sumatera Utara 

Sidang Sinode merupakan salah satu momen penting dalam perjalanan sebuah gereja untuk menentukan arah pelayanan, membahas isu-isu teologis, serta menyusun strategi misi dan penginjilan. Sidang Sinode ke-12 Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) yang akan dilaksanakan di Sumatera Utara memiliki peran krusial dalam menentukan arah gereja ini ke depan. Namun, seperti halnya setiap pertemuan yang melibatkan banyak pemimpin dan jemaat dari berbagai latar belakang, potensi konflik dan perpecahan selalu menjadi ancaman nyata yang harus diwaspadai.

Dalam sejarah gereja, perselisihan dalam tubuh Kristus bukanlah hal yang baru. Bahkan, Alkitab sendiri mencatat konflik internal yang terjadi di antara jemaat mula-mula. Rasul Paulus, dalam surat-suratnya, sering kali memberikan nasihat untuk menjaga kesatuan gereja.

Salah satu ayat yang relevan dalam konteks ini adalah “Berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Efesus 4:3). Ayat ini mengingatkan bahwa kesatuan gereja tidak terjadi secara otomatis, melainkan memerlukan upaya bersama yang didasarkan pada kasih dan kerendahan hati.

Sidang Sinode GKRI ke-12 ini menjadi semakin penting karena gereja menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks, termasuk perbedaan pandangan teologis, konflik kepentingan di antara pemimpin, serta tekanan dari masyarakat yang semakin sekuler. Jika tidak dikelola dengan bijaksana, potensi perpecahan dapat merusak kesaksian gereja di tengah dunia. Dengan mendasarkan analisis pada firman Tuhan dan pandangan teologis, kita berharap dapat menemukan cara untuk menjaga kesatuan tubuh Kristus dan memastikan sidang sinode ini menjadi momen kebangkitan, bukan kehancuran.

Bagian 1: Penyebab Potensi Perpecahan

Potensi perpecahan dalam tubuh gereja, termasuk dalam sidang sinode, sering kali berakar pada berbagai faktor yang dapat saling terkait. Dalam konteks Sidang Sinode ke-12 Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI), terdapat tiga penyebab utama yang perlu diwaspadai: perbedaan pendapat dalam teologi, konflik kepentingan di antara pemimpin gereja, dan tantangan sosial-budaya yang memengaruhi dinamika jemaat.

A. Perbedaan Pendapat.

Perbedaan interpretasi terhadap beragam kebijakan, mulai dari persyaratan calon ketua umum, pemaksaan kehendak dengan kesepakatan yang dirancang agar meloloskan calon tertentu pada hal belum waktunya. Semua intrik tersebut dilakukan dalam kedagingan dan tidak lagi tegak lurus dengan Tata Gereja dan Tata Laksana serta petunjuk Alkitab.

Dalam sejarah gereja, perselisihan dan silang pendapat serta cenderung melanggar Tata Gereja dan Laksana Organisasi telah melahirkan barisan “sakit hati”. Dalam konteks GKRI, perbedaan pandangan dan pemaksaan kehendak serta diakomodirnya ASPIRASI yang notabene berlawanan dengan Tata Gereja dan Tata Laksana serta Alkitab sebagai pedoman pelayanan dan berorganisasi telah memporak-porandakan organisasi GKRI dalam belasan tahun.

Sebagai contoh, era 2013-2017 terjadi perpecahan di tubuh GKRI yang dampaknya sampai saat ini masih terasa oleh Insan GKRI. Dilanjutkan lagi era 2017-2021 juga sama situasinya sehingga terjadi perpecahan karena kegagalan mengatasi dan menyelesaikan konflik internal elit GKRI.

Menuju Sidang Sinode XII ketegangan sudah mulai terasa dalam grup whatsapp para hamba Tuhan GKRI. Silang pendapat dan tuduhan yang tidak berdasar dipublis diruang public khususnya di grup media sosial. Ketegangan ini, jika tidak dikelola dengan bijaksana, dapat menciptakan perpecahan yang signifikan.

Dalam 2 Timotius 2:15, Rasul Paulus menasihati Timotius, “Usahakanlah dirimu berkenan kepada Allah sebagai seorang pekerja yang tidak usah malu, yang berterus terang memberitakan perkataan kebenaran.” Ayat ini menekankan pentingnya pendekatan teologis yang benar dan bertanggung jawab, bukan hanya demi kebenaran doktrin, tetapi juga untuk menjaga kesatuan tubuh Kristus.

Teolog Karl Barth menekankan bahwa pusat dari semua doktrin haruslah Yesus Kristus. Dalam karyanya, Church Dogmatics, Barth menulis, “The unity of the church is found in its focus on Christ as its head and foundation.” Perbedaan dalam menafsirkan kebenaran dan silang pendapat di antara para hamba Tuhan GKRI, dapat diatasi jika semua pihak mengarahkan fokus mereka kepada Kristus sebagai Pusat Pengajaran, Kepala Gereja dan Pemilik Domba.

B. Konflik Kepentingan Antar Pemimpin Gereja

Selain perbedaan di atas, konflik kepentingan di antara pemimpin gereja juga sering kali menjadi pemicu utama perpecahan. Sidang sinode melibatkan berbagai pemimpin yang memiliki latar belakang, pengalaman, dan agenda yang berbeda. Perebutan pengaruh atau jabatan sering kali muncul, terutama ketika keputusan yang diambil dalam sinode berdampak besar pada arah pelayanan gereja di masa depan.

Yakobus 3:16 mengingatkan, “Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.” Ayat ini relevan dalam menggambarkan dampak negatif dari konflik kepentingan yang berakar pada ambisi pribadi.

Dalam konteks ini, penting untuk mengingat teladan Kristus yang merendahkan diri-Nya untuk melayani, bukan untuk dilayani (Matius 20:28). Para pemimpin gereja perlu meneladani sikap Kristus dengan melepaskan ambisi pribadi demi kesejahteraan dan kesatuan tubuh Kristus.

Teolog Dietrich Bonhoeffer dalam bukunya Life Together menulis, “True spiritual authority is found in humble service, not in personal ambition.” Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin gereja dipanggil untuk menjadi pelayan, bukan penguasa.

C. Masalah Sosial-Budaya dan Kepentingan Regional

Sidang Sinode GKRI yang berlangsung di Sumatera Utara mencerminkan keberagaman latar belakang sosial dan budaya jemaat. Perbedaan ini dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik, tetapi juga dapat menjadi sumber konflik jika tidak ada kesatuan visi. Jika tidak ada dialog yang terbuka dan saling menghormati, perbedaan ini dapat menjadi titik gesekan.

Dalam Galatia 3:28, Rasul Paulus menulis, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa identitas kita sebagai orang percaya melampaui perbedaan sosial, budaya, dan regional. Kesatuan dalam Kristus harus menjadi prioritas utama di atas segala perbedaan.

Teolog John Stott juga menggarisbawahi pentingnya gereja untuk menjadi “a community of reconciliation.” Dalam bukunya The Living Church, ia menulis bahwa gereja dipanggil untuk menjadi tempat di mana perbedaan dapat dirayakan sebagai bagian dari keindahan tubuh Kristus, bukan sebagai sumber perpecahan.

Bagian 2: Akibat Potensi Perpecahan

Potensi perpecahan yang muncul dalam Sidang Sinode Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) tidak hanya memengaruhi internal gereja, tetapi juga membawa dampak luas terhadap misi gereja, relasi antarjemaat, dan pertumbuhan gereja itu sendiri. Ketika gereja mengalami perpecahan, dampaknya sering kali terasa dalam tiga aspek utama: hilangnya kesaksian gereja di tengah dunia, keretakan relasi antarjemaat, dan stagnasi bahkan kemunduran dalam pertumbuhan gereja.

A. Hilangnya Kesaksian Gereja di Tengah Dunia

Salah satu misi utama gereja adalah menjadi terang dan garam bagi dunia (Matius 5:13-16). Ketika gereja mengalami konflik internal dan perpecahan, misi ini menjadi sulit untuk dilakukan.

Dunia sering kali memandang gereja sebagai komunitas yang seharusnya mencerminkan kasih, kesatuan, dan kerendahan hati. Namun, ketika perpecahan terjadi, gereja dapat kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan gagal menjadi teladan kasih Kristus.

Yohanes 17:21 memberikan gambaran tentang pentingnya kesatuan dalam tubuh Kristus sebagai bagian dari kesaksian kepada dunia. Yesus berdoa, “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” Kesatuan gereja tidak hanya berdampak pada internal jemaat, tetapi juga menjadi bukti nyata kepada dunia tentang kehadiran dan karya Allah.

Ketika konflik dan perpecahan terlihat oleh masyarakat luar, gereja dapat dianggap tidak relevan atau bahkan munafik. Teolog John Stott, dalam bukunya The Contemporary Christian, menulis, “The credibility of our message is seriously undermined when our lives contradict our words.” Jika gereja tidak mampu menjaga kesatuan, maka pesan Injil yang diberitakan kehilangan kuasanya untuk meyakinkan dunia.

B. Keretakan Relasi Antar Jemaat

Perpecahan dalam gereja tidak hanya terjadi di level kepemimpinan, tetapi juga dapat menyebar ke jemaat biasa. Ketika konflik terjadi di dalam sinode, jemaat lokal sering kali terpengaruh, bahkan terpecah berdasarkan kubu atau loyalitas tertentu. Hal ini menciptakan ketegangan, rasa tidak percaya, dan bahkan permusuhan di antara anggota tubuh Kristus.

Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12:25 mengingatkan bahwa tubuh Kristus seharusnya tidak mengalami perpecahan: “Supaya jangan ada perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan.” Setiap anggota tubuh Kristus dipanggil untuk saling mendukung, bukan saling menjatuhkan atau memusuhi.

Keretakan relasi antarjemaat juga sering kali meninggalkan luka yang mendalam. Banyak jemaat yang merasa kecewa dan kehilangan semangat dalam pelayanan akibat konflik yang tidak terselesaikan. Dalam situasi seperti ini, rekonsiliasi menjadi sangat penting.

Dietrich Bonhoeffer dalam Life Together menulis, “Forgiveness is the key to reconciliation and the restoration of relationships in the Christian community.” Tanpa pengampunan dan upaya untuk memulihkan relasi, luka akibat konflik akan terus membesar dan berdampak buruk bagi komunitas gereja.

C. Dampak terhadap Pertumbuhan Gereja

Perpecahan sering kali mengakibatkan stagnasi bahkan kemunduran dalam pertumbuhan gereja. Gereja yang terpecah kehilangan fokus pada misi utamanya, yaitu memberitakan Injil dan membawa jiwa-jiwa kepada Kristus.

Sebaliknya, energi dan sumber daya gereja sering kali terkuras untuk menangani konflik internal. Akibatnya, penginjilan, pelayanan sosial, dan kegiatan-kegiatan lainnya menjadi terabaikan.

Dalam Amsal 29:18 tertulis, “Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat. Berbahagialah orang yang berpegang pada hukum.” Ketika gereja kehilangan visi yang bersumber dari Allah, perpecahan menjadi tak terhindarkan. Tanpa visi bersama yang jelas, jemaat dan pemimpin gereja kehilangan arah, sehingga pertumbuhan gereja menjadi terhambat.

Dampak lain dari perpecahan adalah penurunan jumlah jemaat yang hadir dalam ibadah. Banyak jemaat yang memilih meninggalkan gereja karena merasa tidak nyaman dengan konflik yang terjadi. Dalam kasus yang lebih parah, perpecahan dapat memicu pembentukan gereja baru yang tidak selalu dilandasi oleh visi dan misi yang jelas, melainkan hanya untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu.

Teolog Alister McGrath, dalam Christian Theology: An Introduction, menyoroti bahwa perpecahan dalam gereja sering kali menjadi penghalang terbesar bagi pertumbuhan iman jemaat. Ia menulis, “Divisions within the church weaken its witness and diminish its ability to nurture the faith of its members.” Dengan kata lain, perpecahan tidak hanya merugikan gereja secara organisasi, tetapi juga secara spiritual.

Bagian 3: Solusi dan Langkah Rekonsiliasi

Perpecahan dalam gereja bukanlah akhir dari segalanya. Alkitab memberikan banyak prinsip yang dapat menjadi pedoman untuk memulihkan kesatuan dalam tubuh Kristus.

Dalam konteks Sidang Sinode GKRI ke-12, penting untuk mengambil langkah-langkah konkret yang tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga memperkuat komitmen gereja untuk hidup dalam kasih dan kesatuan. Ada tiga pendekatan utama yang dapat dilakukan: pendekatan Alkitabiah, peran pemimpin gereja, dan pentingnya doa serta bimbingan Roh Kudus.

A. Pendekatan Alkitabiah untuk Mencapai Kesatuan

Kesatuan gereja adalah tema sentral dalam Alkitab. Firman Tuhan memberikan arahan yang jelas tentang bagaimana jemaat harus hidup dalam harmoni. Salah satu prinsip terpenting adalah mengutamakan kasih di atas segala perbedaan.

Kolose 3:14 menegaskan, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” Kasih bukan hanya sebuah emosi, tetapi juga keputusan untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Selain itu, Alkitab juga mendorong gereja untuk mengutamakan kerendahan hati dalam menyelesaikan konflik.

Filipi 2:3-4 mengajarkan, “Dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya, hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” Dengan mengutamakan sikap rendah hati, gereja dapat membangun dialog yang sehat dan saling menghormati.

Dalam situasi konflik, penting bagi gereja untuk mengingat bahwa kesatuan bukan berarti keseragaman. Teolog F.F. Bruce dalam komentarnya tentang surat Efesus menyebutkan, “Unity in the church is not the obliteration of diversity, but the harmonization of differences under the lordship of Christ.” Artinya, kesatuan gereja adalah harmoni yang tercipta ketika semua pihak bersatu dalam misi Kristus, meskipun terdapat perbedaan dalam cara pandang atau latar belakang.

B. Peran Pemimpin Gereja dalam Memelihara Kesatuan

Pemimpin gereja memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga dan memelihara kesatuan tubuh Kristus. Kepemimpinan yang berdasarkan teladan Kristus sangat penting dalam menghadapi potensi perpecahan. Yesus sendiri menunjukkan kepemimpinan yang penuh kasih, rendah hati, dan mengutamakan pelayanan.

Matius 20:28 menyatakan, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Pemimpin gereja harus menunjukkan sikap yang sama. Mereka dipanggil untuk menjadi teladan dalam kerendahan hati, mengedepankan rekonsiliasi, dan menenangkan pihak-pihak yang berselisih.

Dalam Efesus 4:11-12, Rasul Paulus menyebutkan bahwa para pemimpin gereja diberi tugas untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, dengan tujuan membangun tubuh Kristus. Oleh karena itu, pemimpin harus menjadi pendamai dan penghubung di tengah konflik.

Kutipan terkenal dari Agustinus, “In essentials, unity; in non-essentials, liberty; in all things, charity,” memberikan prinsip penting dalam menghadapi konflik gereja. Dalam hal-hal yang esensial seperti iman kepada Kristus dan kebenaran Alkitab, gereja harus bersatu. Dalam hal-hal yang tidak esensial, seperti preferensi gaya ibadah atau metode pelayanan, gereja dapat memberikan kebebasan. Namun, dalam segala hal, kasih harus menjadi dasar dari setiap keputusan dan tindakan.

C. Pentingnya Doa dan Bimbingan Roh Kudus

Doa memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kesatuan gereja. Tanpa doa, usaha manusia sering kali terbatas dan gagal mencapai hasil yang diinginkan.

Sidang Sinode ke-12 GKRI harus diawali dan dikelilingi oleh doa, dengan memohon bimbingan Roh Kudus untuk memberikan hikmat dan kesatuan kepada semua peserta. Mazmur 133:1 menyatakan, “Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” Ayat ini mengingatkan kita bahwa kesatuan adalah anugerah dari Allah yang perlu dijaga melalui doa dan ketergantungan kepada-Nya. Ketika gereja berdoa, Roh Kudus bekerja untuk melembutkan hati, menyatukan visi, dan membawa damai di tengah konflik.

Selain itu, gereja juga harus menyediakan waktu khusus untuk doa bersama, baik selama persiapan maupun pelaksanaan sidang sinode. Doa bersama tidak hanya mempererat hubungan di antara para pemimpin, tetapi juga menegaskan ketergantungan gereja kepada Allah sebagai kepala gereja. Dalam Kisah Para Rasul 4:31, dicatat bahwa setelah para rasul berdoa bersama, mereka dipenuhi dengan Roh Kudus dan diberi keberanian untuk memberitakan firman Allah. Hal ini menunjukkan bahwa doa memiliki kuasa untuk menguatkan gereja di tengah tantangan.

Teolog J.I. Packer dalam bukunya Knowing God menulis, “Prayer is the spiritual engine that drives the church forward.” Dengan kata lain, doa adalah kekuatan utama yang mendorong gereja untuk tetap berjalan di tengah konflik dan tantangan.

Sidang Sinode ke-12 Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) di Sumatera Utara adalah kesempatan besar untuk membawa perubahan positif bagi gereja. Namun, potensi perpecahan yang mengintai tidak boleh diabaikan. Dengan mengidentifikasi penyebab utama perpecahan, memahami akibatnya, dan menerapkan solusi yang berdasarkan firman Tuhan, gereja dapat mengatasi konflik dan menjaga kesatuan tubuh Kristus.

Kesatuan gereja adalah panggilan yang Allah berikan kepada umat-Nya. Efesus 4:3 mengingatkan kita untuk “memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera.” Sebagai tubuh Kristus, gereja dipanggil untuk menjadi saksi kasih dan kekudusan Allah di tengah dunia. Mari kita jadikan Sidang Sinode ini sebagai momentum kebangkitan, di mana perbedaan bukan menjadi sumber perpecahan, tetapi menjadi kekuatan untuk melayani lebih baik dan lebih luas.

Post a Comment for "Waspada Potensi Perpecahan Dalam Sidang Sinode GKRI Ke-12 di Sumatera Utara"