Pendeta Mengakiri Hidupnya Sendiri
Pendeta mengakiri hidupnya sendiri ~ perlunya gerakan mendoakan dan mendukung para pendeta dalam pelayanannya.
Turut berduka untuk Keluarga Ps. Jarid Wilson. Tuhan menolong istri dan anak-anak yang barusan ditinggalkan. Lagi-lagi dunia pelayanan Gerejawi dikejutkan oleh khabar tragis. Ps. Jarrid Wilson, seorang pemimpin gereja di California, bunuh diri pada tanggal 9 September pada usia 30 tahun. Dari beberapa status yang diunggah di Instagram, diduga kuat bahwa Ps. Wilson mengakhiri hidup karena depresi. Mirip dengan kejadian beberapa bulan lalu, Ps. Andrew dan Penulis Buku Kristen terkenal, Ps. Harris juga mengakhiri hidup karena tidak kuat menghadapi tekanan hidup sebagai Pendeta.
Keadaan ini pelik. Ketika Pendeta harus memberi pelayanan konseling kepada Jemaat, tentu harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan keinginan mayoritas jemaat yang bisa saja bertolak belakang dengan keinginan hati sang Pendeta. Tak dapat dibayangkan betapa besarnya tekanan batin dan teologis yang harus ditahan dalam kondisi ini.
KURANGI KRITIK, PERBANYAK DOA DAN DUKUNGAN
Menjadi seorang Pendeta sungguh tidak mudah. Selain dituntut memiliki ilmu keagamaan yang memadai untuk mengimbangi Jemaat Modern yang semakin Kritis, seorang Pendeta juga dipaksa oleh keadaan (dunia Pelayanan Pastoral yang kompleks) untuk menguasai berbagai disiplin ilmu seperti Ilmu Psikologis, Sosial, Ekonomi, Budaya, Bisnis, Konseling, dan lain sebagainya.
Sosok Gembala atau Pendeta telah "dicap" sebagai wakil Tuhan sehingga begitu diharapkan oleh Jemaat untuk menyelesaikan atau paling tidak membantu berbagai permasalahan hidup yang begitu rumit.
Bayangkan. Jika 100 orang saja Jemaat yang digembalakan, maka "domba-domba" ini berpotensial besar untuk membawa 100 persoalan.1 orang biasanya membawa 5 jenis permasalahan; Keluarga, Pekerjaan, Hubungan Sesama, Study, dan Masa Depan. Jika 100 dikali 5, maka ada 500 jenis persoalan yang kapan saja dapat membuat seorang Pendeta kewalahan. Menghadapi semua problema ini tidak mudah.
Di sisi lain, seorang Pendeta adalah manusia biasa yang pasti dapat mengalami keletihan dan kejenuhan. Pendeta juga mengalami problem yang sama dengan jemaat karena Pendeta juga memiliki Keluarga dan Pekerjaan yang sama-sama mengalami kondisi pasang surut. Masalah sakit, ekonomi, dan keluarga tentu saja lebih dari cukup untuk menguras pikiran dan perasaan seorang Pendeta.
Tantangan menjadi Pendeta tidak sampai di situ. Di Zaman Milenial sekarang, dalam banyak hal, Pendeta lebih mudah untuk disalahkan. Jika ada konflik, pendeta biasanya menjadi sasaran tembak dengan segala kritik tajam tanpa ampun. Istilah umumnya, "mundur kena maju kena". Terlihat kaya salah, terlihat miskin juga salah. Terlihat pas-pasan , apalagi. Jadi, banyak sisi dilematis di sini.
DILEMATIS PENDETA DI EROPA
Permasalahan yang kerap dihadapi oleh Pendeta di Eropa mungkin berbeda dengan di Indonesia. Permasalahan Pelayanan Pastoral di Indonesia cenderung bersifat Teologis-Ekonomi. Misalnya; Perbedaan Denominasi, Liturgi, dan Berkat Jasmani. Sedangkan permasalahan bagi Pendeta di Eropa bersifat Teologis-Etika. Dan masalah ini jauh lebih Kompleks dan Dilematis. Ilmu pengetahuan/sains yang semakin dominan disana menciptakan jemaat yang skeptis terhadap kebenaran Injil. Apatis terhadap dunia rohani sehingga Jemaat "Atheis Praktis" tumbuh pesat.
Dimana letak dilematisnya ?
Di depan Pendeta, Jemaat tidak lagi hidup menurut Firman Tuhan tetapi masih berkunjung ke Gereja. Dengan mata sendiri, sang Pendeta melihat keseharian jemaatnya yang telah tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan atau jemaat yang memiliki anak sebelum diberkati di Gereja.
Dengan sadar sang Pendeta mengetahui adanya praktik Aktivitas Seksual yang menyimpang diantara Jemaat. Pendeta disana juga sangat paham bahwa nilai-nilai Kebenaran Injil tidak lagi menarik untuk diperbincangkan di depan Jemaat karena percakapan "mencari kesenangan" jauh lebih mendominasi. Singkatnya, Sang Pendeta melihat bahwa kehidupan Kristen tidak lagi memiliki perbedaan dengan manusia pada umumnya.
Di satu sisi, sang Pendeta sadar bahwa Alkitab tidak mengajarkan itu semua. Atau paling tidak, Pendeta tersebut paham bahwa segala gerak gerik yang ia saksikan, bertolak belakang dengan Firman Tuhan yang hendak ia khotbahkan. Tekanan Teologis - Psikologis tentu saja dapat menghantui siapa saja dalam kondisi seperti ini.
Memuaskan telinga Jemaat tentu saja salah. Namun di sisi lain, menyampaikan kebenaran mutlak juga akan menyakiti perasaan banyak orang dan tentu saja dampaknya bisa membuat dirinya terkucilkan diantara Jemaat yang telah "sekuler".
Turut berduka untuk Keluarga Ps. Jarid Wilson. Tuhan menolong istri dan anak-anak yang barusan ditinggalkan. Lagi-lagi dunia pelayanan Gerejawi dikejutkan oleh khabar tragis. Ps. Jarrid Wilson, seorang pemimpin gereja di California, bunuh diri pada tanggal 9 September pada usia 30 tahun. Dari beberapa status yang diunggah di Instagram, diduga kuat bahwa Ps. Wilson mengakhiri hidup karena depresi. Mirip dengan kejadian beberapa bulan lalu, Ps. Andrew dan Penulis Buku Kristen terkenal, Ps. Harris juga mengakhiri hidup karena tidak kuat menghadapi tekanan hidup sebagai Pendeta.
Keadaan ini pelik. Ketika Pendeta harus memberi pelayanan konseling kepada Jemaat, tentu harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan keinginan mayoritas jemaat yang bisa saja bertolak belakang dengan keinginan hati sang Pendeta. Tak dapat dibayangkan betapa besarnya tekanan batin dan teologis yang harus ditahan dalam kondisi ini.
KURANGI KRITIK, PERBANYAK DOA DAN DUKUNGAN
Menjadi seorang Pendeta sungguh tidak mudah. Selain dituntut memiliki ilmu keagamaan yang memadai untuk mengimbangi Jemaat Modern yang semakin Kritis, seorang Pendeta juga dipaksa oleh keadaan (dunia Pelayanan Pastoral yang kompleks) untuk menguasai berbagai disiplin ilmu seperti Ilmu Psikologis, Sosial, Ekonomi, Budaya, Bisnis, Konseling, dan lain sebagainya.
Sosok Gembala atau Pendeta telah "dicap" sebagai wakil Tuhan sehingga begitu diharapkan oleh Jemaat untuk menyelesaikan atau paling tidak membantu berbagai permasalahan hidup yang begitu rumit.
Bayangkan. Jika 100 orang saja Jemaat yang digembalakan, maka "domba-domba" ini berpotensial besar untuk membawa 100 persoalan.1 orang biasanya membawa 5 jenis permasalahan; Keluarga, Pekerjaan, Hubungan Sesama, Study, dan Masa Depan. Jika 100 dikali 5, maka ada 500 jenis persoalan yang kapan saja dapat membuat seorang Pendeta kewalahan. Menghadapi semua problema ini tidak mudah.
Di sisi lain, seorang Pendeta adalah manusia biasa yang pasti dapat mengalami keletihan dan kejenuhan. Pendeta juga mengalami problem yang sama dengan jemaat karena Pendeta juga memiliki Keluarga dan Pekerjaan yang sama-sama mengalami kondisi pasang surut. Masalah sakit, ekonomi, dan keluarga tentu saja lebih dari cukup untuk menguras pikiran dan perasaan seorang Pendeta.
Tantangan menjadi Pendeta tidak sampai di situ. Di Zaman Milenial sekarang, dalam banyak hal, Pendeta lebih mudah untuk disalahkan. Jika ada konflik, pendeta biasanya menjadi sasaran tembak dengan segala kritik tajam tanpa ampun. Istilah umumnya, "mundur kena maju kena". Terlihat kaya salah, terlihat miskin juga salah. Terlihat pas-pasan , apalagi. Jadi, banyak sisi dilematis di sini.
DILEMATIS PENDETA DI EROPA
Permasalahan yang kerap dihadapi oleh Pendeta di Eropa mungkin berbeda dengan di Indonesia. Permasalahan Pelayanan Pastoral di Indonesia cenderung bersifat Teologis-Ekonomi. Misalnya; Perbedaan Denominasi, Liturgi, dan Berkat Jasmani. Sedangkan permasalahan bagi Pendeta di Eropa bersifat Teologis-Etika. Dan masalah ini jauh lebih Kompleks dan Dilematis. Ilmu pengetahuan/sains yang semakin dominan disana menciptakan jemaat yang skeptis terhadap kebenaran Injil. Apatis terhadap dunia rohani sehingga Jemaat "Atheis Praktis" tumbuh pesat.
Dimana letak dilematisnya ?
Di depan Pendeta, Jemaat tidak lagi hidup menurut Firman Tuhan tetapi masih berkunjung ke Gereja. Dengan mata sendiri, sang Pendeta melihat keseharian jemaatnya yang telah tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan atau jemaat yang memiliki anak sebelum diberkati di Gereja.
Dengan sadar sang Pendeta mengetahui adanya praktik Aktivitas Seksual yang menyimpang diantara Jemaat. Pendeta disana juga sangat paham bahwa nilai-nilai Kebenaran Injil tidak lagi menarik untuk diperbincangkan di depan Jemaat karena percakapan "mencari kesenangan" jauh lebih mendominasi. Singkatnya, Sang Pendeta melihat bahwa kehidupan Kristen tidak lagi memiliki perbedaan dengan manusia pada umumnya.
Di satu sisi, sang Pendeta sadar bahwa Alkitab tidak mengajarkan itu semua. Atau paling tidak, Pendeta tersebut paham bahwa segala gerak gerik yang ia saksikan, bertolak belakang dengan Firman Tuhan yang hendak ia khotbahkan. Tekanan Teologis - Psikologis tentu saja dapat menghantui siapa saja dalam kondisi seperti ini.
Memuaskan telinga Jemaat tentu saja salah. Namun di sisi lain, menyampaikan kebenaran mutlak juga akan menyakiti perasaan banyak orang dan tentu saja dampaknya bisa membuat dirinya terkucilkan diantara Jemaat yang telah "sekuler".
Post a Comment for "Pendeta Mengakiri Hidupnya Sendiri"