Analisis Ketegangan Dalam Sinode Dari Perspektif Hukum Gereja
Analisis Ketegangan Dalam Sinode Dari Perspektif Hukum Gereja ~ Ketegangan dalam sinode bukanlah fenomena baru dalam sejarah gereja. Sejak zaman para rasul, perbedaan pandangan teologis dan kepemimpinan telah menjadi bagian dari dinamika tubuh Kristus. Kisah para rasul 15 memperlihatkan bagaimana sinode pertama di Yerusalem dihadapkan pada perdebatan serius tentang hukum Taurat dan keselamatan bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Dari sinilah kita memahami bahwa sinode sebagai lembaga tertinggi dalam tata gereja memiliki fungsi bukan hanya administratif, melainkan juga teologis dan pastoral — menjaga kesatuan gereja tanpa mengorbankan kebenaran iman.
Dalam konteks modern, ketegangan sinode sering kali berakar pada konflik kepentingan, ambiguitas hukum gereja, dan lemahnya etika kepemimpinan rohani. Artikel ini akan menganalisis ketegangan tersebut dalam tiga dimensi: (1) Dimensi Teologis Kesatuan Tubuh Kristus, (2) Dimensi Yuridis dalam Tata Gereja, dan (3) Dimensi Etis dan Kepemimpinan Pastoral.
Bagian I:
Dimensi Teologis – Kesatuan Tubuh Kristus di Tengah Perbedaan
“Supaya mereka semua menjadi
satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar
mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkau yang telah
mengutus Aku.”
(Yohanes 17:21)
1. Kesatuan sebagai Fondasi Teologis Sinode
Doa Yesus dalam Yohanes 17:21 menegaskan bahwa kesatuan gereja bukan sekadar kebutuhan organisatoris, tetapi merupakan realitas teologis yang mengakar pada persekutuan Allah Tritunggal. Kesatuan yang dikehendaki Kristus bersifat spiritual, bukan uniformitas struktural. Dalam konteks sinode, ini berarti setiap keputusan dan dinamika internal harus berakar pada prinsip persatuan dalam Kristus, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok.
Menurut teolog John Stott, kesatuan gereja adalah “buah dari kasih dan ketaatan kepada Kristus, bukan hasil kompromi politik atau administratif.”[1] Artinya, setiap sinode yang kehilangan orientasi teologisnya akan mudah terjebak pada perebutan kekuasaan dan status.
2. Ketegangan sebagai Realitas Tubuh Kristus
Paulus mengakui bahwa dalam tubuh Kristus terdapat banyak anggota dengan
fungsi yang berbeda (1 Korintus 12:12–27). Perbedaan pandangan bukan tanda
kehancuran, melainkan kesempatan untuk menegaskan kedaulatan kasih dalam
keberagaman. Namun, ketika perbedaan tersebut tidak dikelola dengan kasih dan
hikmat, maka ketegangan berubah menjadi perpecahan.
Karl Barth menulis bahwa “perpecahan gereja adalah skandal terbesar di hadapan dunia, karena mengingkari keesaan Kristus yang adalah Kepala Gereja.”[2] Maka, ketegangan dalam sinode harus dipandang bukan semata sebagai konflik, tetapi sebagai kesempatan untuk kembali meneguhkan identitas gereja sebagai tubuh yang satu di bawah Kristus.
3. Prinsip Rekonsiliasi sebagai Jalan Tengah
Teologi rekonsiliasi mengajarkan bahwa ketegangan harus diselesaikan dalam terang salib. Paulus menulis: “Allah mendamaikan kita dengan diri-Nya oleh Kristus dan telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kita” (2 Korintus 5:18). Dalam konteks sinode, rekonsiliasi berarti membangun dialog yang jujur, saling mendengar, dan mengutamakan kepentingan tubuh Kristus di atas kepentingan pribadi.
Menurut Lesslie Newbigin, “rekonsiliasi dalam gereja adalah tanda utama kehadiran Kerajaan Allah di dunia.”[3] Maka, sinode yang mampu mengelola ketegangan dengan roh rekonsiliasi justru menjadi saksi Kristus yang hidup dan relevan bagi dunia modern.
Bagian II:
Dimensi Yuridis – Ketegangan dalam Perspektif Hukum Gereja
“Sebab Allah bukanlah Allah
kekacauan, tetapi Allah damai sejahtera.”
(1 Korintus 14:33)
1. Hukum Gereja
sebagai Alat Tata dan Keadilan
Hukum gereja (kanonika) lahir bukan untuk mengekang, tetapi untuk menata
dan memelihara ketertiban dalam tubuh Kristus. Dalam tradisi gereja mula-mula,
hukum gereja berfungsi sebagai pedoman etis sekaligus yuridis agar pelayanan
berjalan dalam tertib dan kasih. Ketika Paulus menasihati jemaat Korintus agar
melakukan segala sesuatu “dengan sopan dan teratur” (1 Kor. 14:40), ia sedang
menegaskan prinsip yuridis gerejawi.
Emil Brunner menulis bahwa “hukum gereja adalah wujud konkret dari kasih yang diatur.”[4] Dalam arti ini, setiap ketegangan dalam sinode seharusnya diarahkan kepada keadilan yang mengandung kasih, bukan kekuasaan yang menindas.
2. Ketegangan Akibat Tafsir Ganda terhadap Hukum
Gereja
Salah satu penyebab utama ketegangan sinode adalah perbedaan penafsiran terhadap konstitusi gereja. Dalam banyak kasus, pihak-pihak dalam sinode memanipulasi pasal-pasal untuk mendukung kepentingan kelompoknya. Fenomena ini mencerminkan bahwa hukum gereja telah kehilangan fungsi spiritualnya dan berubah menjadi alat politik rohani.
Menurut Berkhof, “ketika hukum gereja terpisah dari roh Injil, maka ia kehilangan otoritasnya dan hanya menjadi instrumen duniawi.”[5] Maka, penegakan hukum gereja harus disertai kesadaran pneumatologis — bahwa Roh Kuduslah yang memelihara gereja dari penyimpangan dan penyelewengan kuasa.
3. Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan Berdamai
Mazmur 85:11 menulis, “Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan
damai sejahtera akan bercium-ciuman.” Ayat ini menggambarkan harmoni antara
keadilan dan kasih dalam penegakan hukum gereja. Dalam sinode, keputusan hukum
tidak boleh hanya menegakkan “aturan”, tetapi juga harus menghadirkan keadilan
yang membawa damai.
Teolog Paul Tillich menegaskan bahwa “keadilan tanpa kasih akan menjadi kekerasan, dan kasih tanpa keadilan akan menjadi kelemahan.”[6] Maka, dalam konteks sinode, setiap keputusan hukum harus mempertimbangkan kedua unsur ini secara seimbang — mengoreksi kesalahan tanpa menghancurkan persaudaraan.
Bagian III:
Dimensi Etis dan Kepemimpinan Pastoral dalam Ketegangan Sinode
“Tetapi kamu, barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” (Markus 10:43)
1. Krisis Kepemimpinan sebagai Pemicu Ketegangan
Ketegangan dalam sinode sering kali mencerminkan krisis kepemimpinan. Ketika pemimpin gereja lebih mementingkan posisi daripada panggilan, maka pelayanan berubah menjadi perebutan kuasa. Krisis ini tidak hanya bersifat moral, tetapi juga spiritual.
Menurut John C. Maxwell, “pemimpin yang sejati tidak memimpin dari posisi, tetapi dari pengaruh; bukan dari jabatan, tetapi dari integritas.”[7] Dalam konteks sinode, pemimpin yang berorientasi pada kekuasaan akan menumbuhkan kecurigaan dan friksi, sementara pemimpin yang berorientasi pada pelayanan akan menumbuhkan kesatuan dan saling percaya.
2. Etika Pelayanan dan Integritas Kepemimpinan
1 Petrus 5:2–3 mengingatkan: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah; jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.” Etika pastoral dalam ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan gerejawi bersumber dari hati yang tunduk pada Allah, bukan dari ambisi pribadi.
Teolog Hendrik Kraemer menulis bahwa “kejatuhan gereja dimulai ketika pemimpin-pemimpinnya berhenti melayani dan mulai memerintah.”[8] Artinya, etika pelayanan menuntut pemimpin sinode untuk memprioritaskan kerendahan hati dan keterbukaan terhadap kritik, sebab tanpa etika, hukum gereja hanya menjadi alat legalisasi kesalahan.
3. Spiritualitas Damai dan Restoratif dalam
Penyelesaian Konflik
Roma 12:18 berkata: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” Prinsip ini menuntun gereja untuk mengembangkan pola penyelesaian konflik yang restoratif — bukan menghukum, tetapi memulihkan. Pendekatan restoratif mencerminkan kasih Kristus yang menegur tanpa menghancurkan.
Menurut Miroslav Volf, “pengampunan bukanlah
melupakan kejahatan, tetapi menolak membiarkan kejahatan memiliki kata
terakhir.”[9] Dalam konteks sinode, penyelesaian konflik harus
diarahkan pada pemulihan relasi antar-pelayan dan antara lembaga dengan jemaat.
Dengan demikian, sinode tidak
menjadi arena pertikaian, melainkan ruang perjumpaan anugerah.
Ketegangan dalam sinode adalah realitas yang tidak bisa dihindari, tetapi dapat dikelola. Dalam terang hukum gereja dan teologi Alkitab, ketegangan bukan tanda kehancuran, melainkan peluang untuk pendewasaan rohani dan kelembagaan.
1. Secara teologis, sinode dipanggil
menjaga kesatuan tubuh Kristus dalam keberagaman, meneladani Kristus yang
mempersatukan umat-Nya melalui kasih dan rekonsiliasi.
2.
Secara yuridis, hukum gereja
harus ditegakkan dengan roh kasih dan keadilan, bukan dengan semangat
kekuasaan.
3. Secara etis-pastoral, pemimpin gereja harus mempraktikkan kepemimpinan yang melayani, restoratif, dan terbuka terhadap teguran Roh Kudus.
Gereja yang mampu menata ketegangannya dengan kasih akan menjadi saksi nyata dari Kerajaan Allah yang hadir di dunia: sebuah komunitas yang mempraktikkan hukum kasih di tengah dunia yang haus akan keadilan dan damai sejahtera.
[1] John Stott, The Living Church: Convictions of a Lifelong Pastor
(Downers Grove: InterVarsity Press, 2012), hlm. 64.
[2] Karl Barth, Church Dogmatics IV/1: The Doctrine of Reconciliation (Edinburgh: T&T Clark, 2010), hlm. 673.
[3] Lesslie Newbigin, The Gospel in a Pluralist Society (Grand Rapids: Eerdmans, 2013), hlm. 132.
[4] Emil Brunner, The Divine Imperative (Philadelphia: Westminster
Press, 2011), hlm. 289.
[5] Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids: Eerdmans, 2015), hlm. 623.
[6] Paul Tillich, Love, Power, and Justice (New York: Oxford
University Press, 2013), hlm. 112.
[7] John C. Maxwell, The 21 Irrefutable Laws of Leadership (Nashville: Thomas Nelson, 2017), hlm. 25.
[8] Hendrik Kraemer, The Christian Message in a Non-Christian World
(Grand Rapids: Kregel, 2018), hlm. 401.
[9] Miroslav Volf, Exclusion and Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness, and Reconciliation (Nashville: Abingdon Press, 2019), hlm. 215.

Post a Comment for "Analisis Ketegangan Dalam Sinode Dari Perspektif Hukum Gereja "