Jangan Berhenti Sebelum Garis Akhir - Khotbah Kristen
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jangan Berhenti Sebelum Garis Akhir

Jangan Berhenti Sebelum Garis Akhir ~ “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” 2 Timotius 4:7.

Dalam surat terakhirnya kepada Timotius, Rasul Paulus menulis dengan nada seorang pejuang yang sudah menuntaskan pertandingan hidupnya. Kalimat “aku telah mencapai garis akhir” bukan sekadar refleksi tentang kematian yang dekat, tetapi pernyataan iman tentang ketekunan, kesetiaan, dan kemenangan rohani.

Paulus tahu bahwa hidupnya seperti perlombaan yang panjang, penuh tekanan, penderitaan, dan godaan untuk menyerah. Namun ia memilih untuk tidak berhenti sebelum garis akhir.

1. Hidup Orang Percaya Adalah Pertandingan Iman yang Baik

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik…” — 2 Timotius 4:7a

Paulus menggambarkan hidupnya seperti seorang atlet yang sedang berlomba. Kata Yunani untuk “pertandingan” adalah agon (ἄγων), yang berarti perjuangan, pertarungan, atau kompetisi yang memerlukan tenaga dan disiplin. Dengan kata lain, kehidupan Kristen bukan taman bunga, melainkan arena perjuangan iman.

Teolog John Stott menafsirkan ayat ini dengan berkata, “Paulus tidak melihat hidupnya sebagai penderitaan yang sia-sia, melainkan sebagai perlombaan yang memiliki tujuan surgawi. Ia berjuang bukan untuk kehormatan dunia, tetapi untuk mahkota yang kekal.”[1]

Dalam kehidupan rohani, “pertandingan yang baik” berarti perjuangan melawan dosa, keinginan daging, dan tekanan dunia yang menggoda kita untuk menyerah. Tetapi Paulus menegaskan bahwa pertandingan ini baik, karena hasil akhirnya membawa kemuliaan bagi Allah dan kemenangan bagi iman kita.

Ilustrasi:
Pada Olimpiade Barcelona 1992, pelari asal Inggris Derek Redmond mengalami cedera hamstring di tengah lomba semifinal 400 meter. Meski kesakitan, ia bangkit dan berusaha menyelesaikan perlombaan dengan tertatih-tatih. Ketika semua penonton menahan napas, ayahnya turun ke lintasan, menopangnya, dan bersama-sama mereka berjalan sampai ke garis akhir. Dunia menangis melihat ketekunan itu. Seperti Redmond, orang percaya pun harus terus berlari meskipun terluka—karena Bapa di surga siap menopang agar kita tidak berhenti sebelum garis akhir.

2. Ketekunan Adalah Kunci untuk Mencapai Garis Akhir

“…aku telah mencapai garis akhir…” — 2 Timotius 4:7b. Paulus tidak hanya memulai pertandingan, tetapi juga menyelesaikannya. Banyak orang bisa memulai dengan semangat, tetapi hanya sedikit yang menyelesaikan dengan setia. Itulah sebabnya ketekunan (hypomonē - ὑπομονή) menjadi kata kunci dalam iman Kristen.

William Barclay menulis, “Ketekunan adalah kemampuan untuk tetap berdiri teguh dalam badai. Bukan hanya bertahan, tetapi melangkah maju meski menghadapi kesulitan.”[2] Paulus menghadapi penjara, pengkhianatan, dan penderitaan, namun ia tidak berhenti. Ia terus berlari karena fokusnya bukan pada penderitaan, melainkan pada upah surgawi yang menantinya (2 Timotius 4:8).

Ketekunan bukan sekadar kekuatan fisik, melainkan kekuatan batin yang lahir dari pengharapan pada Kristus. Dalam Ibrani 12:1-2 kita diingatkan: “Marilah kita berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita, dengan mata yang tertuju kepada Yesus…”

Ilustrasi:
Legenda maraton Yunani Spyridon Louis, pemenang Olimpiade 1896, bukan pelari profesional. Ia hanyalah seorang pengantar air dari desa. Namun ia berlari dengan semangat luar biasa, karena ingin membawa kebanggaan bagi bangsanya. Ia berkata, “Saya tidak berlari untuk mahkota daun zaitun, tetapi untuk kehormatan yang diberikan oleh tanah air.” Begitu juga dengan kita—kita berlari bukan untuk mahkota fana, tetapi untuk mahkota kemuliaan dari Allah (1 Korintus 9:25).

3. Iman Harus Dijaga Hingga Akhir, Bukan Hanya di Awal

“…aku telah memelihara iman.” — 2 Timotius 4:7c. Bagian ini adalah inti dari seluruh pernyataan Paulus. Ia tidak hanya berjuang dan berlari, tetapi juga menjaga iman agar tidak tercemar oleh keraguan atau kompromi dunia. Menjaga iman berarti tetap berpegang pada kebenaran Injil, sekalipun semua orang meninggalkan kita.

Matthew Henry menulis, “Menjaga iman berarti tetap percaya ketika tidak ada alasan untuk percaya, dan tetap taat ketika semua hal tampak berlawanan.”[3] Iman bukan hanya keyakinan di awal perjalanan, tetapi komitmen yang terus dipertahankan sampai akhir.

Orang Kristen sejati tidak dinilai dari berapa jauh ia telah berlari, tetapi apakah ia sampai di garis akhir dengan iman yang tetap utuh. Dalam konteks ini, menjaga iman juga berarti menolak untuk mundur meski pelayanan tidak dihargai, doa belum dijawab, atau penderitaan datang silih berganti.

Ilustrasi:
Atlet legendaris Eric Liddell, pelari asal Skotlandia yang kisahnya diabadikan dalam film Chariots of Fire, menolak ikut lomba 100 meter di Olimpiade 1924 karena diadakan pada hari Minggu, hari yang ia kuduskan bagi Tuhan.
Ia memilih berlomba di nomor 400 meter dan memenangkan emas, sambil berkata, “When I run, I feel His pleasure.” Setelah itu, ia menjadi misionaris di Tiongkok dan wafat dalam kamp tahanan Jepang. Liddell mengakhiri perlombaan hidupnya dengan iman yang tak tergoyahkan.

Demikian pula, setiap orang percaya dipanggil bukan sekadar untuk berlari cepat, tetapi untuk berlari setia sampai akhir. Dalam Wahyu 2:10 Tuhan berkata, “Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.”

Penutup

Saudara-saudari, hidup iman kita adalah maraton, bukan sprint. Banyak yang bersemangat di awal, tapi kehilangan fokus di tengah jalan. Paulus menunjukkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal memulai, melainkan menyelesaikan dengan setia.

Ketika kita merasa lelah, ingatlah bahwa Yesus sudah berlari lebih dulu dan menantikan kita di garis akhir. Jangan berhenti sebelum garis akhir. Karena di sana, ada mahkota kehidupan yang disiapkan bagi mereka yang tetap setia sampai akhir (2 Timotius 4:8).


[1] John Stott, The Message of 2 Timothy: Guard the Gospel (Downers Grove: IVP, 2017), hlm. 152.

[2] William Barclay, The Letters to Timothy, Titus, and Philemon (Louisville: Westminster John Knox Press, 2016), hlm. 179.

[3] Matthew Henry, Commentary on the Whole Bible, Vol. VI: Acts to Revelation (Peabody: Hendrickson, 2018), hlm. 845.

Post a Comment for "Jangan Berhenti Sebelum Garis Akhir "