Plus Minus Berlindung di Balik Suara Mayoritas Pendukung - Khotbah Kristen
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Plus Minus Berlindung di Balik Suara Mayoritas Pendukung

Plus Minus Berlindung di Balik Suara Mayoritas Pendukung

Bagian 1 : Ketika Mayoritas Menjadi Tameng: Dinamika Kekuasaan dan Godaan Populisme

Dalam setiap organisasi baik gereja, lembaga pendidikan, maupun struktur politik suara mayoritas kerap tampil seperti benteng kokoh yang memberi legitimasi. Pemimpin atau kelompok tertentu merasa “aman” karena banyak yang berdiri di belakang mereka. Fenomena ini bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa mayoritas sering digunakan sebagai tameng untuk menjustifikasi keputusan yang sebenarnya tidak selalu benar.

Secara historis, kita bisa melihat bagaimana mob mentality pernah mengarahkan bangsa besar sekalipun menuju keputusan destruktif. Pada masa Republik Romawi, misalnya, dukungan massa sering dimainkan oleh para demagog untuk mengamankan kekuasaan. Pakar sejarah politik Indonesia, Salim Said (2019), pernah mengingatkan bahwa “mayoritas tidak otomatis berarti kebenaran; mayoritas hanya menunjukkan opini yang paling keras dan paling dominan pada suatu waktu.”[1]

Secara organisasi, fenomena ini digambarkan oleh ahli perilaku organisasi, Veithzal Rivai (2015), yang mengatakan bahwa kelompok mayoritas dapat menciptakan “tekanan normatif” yang membuat individu sulit bersikap kritis meskipun mereka melihat ketidakadilan.[2] Dengan kata lain, ketika mayoritas bersuara, minoritas sering kali bungkam bukan karena setuju tetapi karena takut dikucilkan.

Dalam perspektif teologis, Alkitab mengingatkan bahwa suara terbanyak tidak selalu identik dengan suara Tuhan. Dalam Keluaran 23:2, Tuhan menegur bangsa Israel: “Janganlah engkau mengikuti orang banyak untuk berbuat jahat.” Ayat ini jadi seperti pukulan telak buat budaya “asal ikut mayoritas.” Tuhan menegaskan bahwa kebenaran bukan ditentukan oleh jumlah pendukung, tetapi oleh integritas moral.

Ilustrasi kontemporer bisa kita lihat dalam organisasi gereja atau sinode: ketika pemimpin yang sedang bermasalah berlindung di balik “dukungan mayoritas jemaat,” sering kali itu bukan gambaran kehendak Tuhan, tetapi hasil dari kepintaran retorika, relasi kuasa, dan manipulasi persepsi. Mayoritas bisa dimobilisasi, dan ketika itu terjadi, fungsi kenabian organisasi yaitu mengoreksi yang salah menjadi lumpuh.

Namun, di sisi positifnya, dukungan mayoritas juga punya nilai penting. Mayoritas dapat memberi momentum perubahan besar. Reformasi Luther, misalnya, memerlukan keberanian minoritas yang kemudian menjadi mayoritas moral. Artinya, mayoritas tidak otomatis sesat; yang salah adalah ketika mayoritas dijadikan tameng untuk melindungi perilaku tidak etis.

Bagian 2. Plus: Stabilitas, Legitimasi, dan Efektivitas Keputusan

Berlindung pada suara mayoritas tidak selalu negatif. Dalam organisasi modern, mayoritas merupakan prinsip dasar pengambilan keputusan. Dalam politik demokratis, suara mayoritas memberikan stabilitas dan legitimasi yang dibutuhkan untuk menjalankan kebijakan. Tanpa dukungan mayoritas, proses pemerintahan atau kepemimpinan bisa tersendat karena rendahnya kepercayaan publik.

Ahli ilmu politik Miriam Budiardjo (2018) menegaskan bahwa “prinsip mayoritas memberi ruang bagi pemerintahan yang efektif dan cekatan, selama disertai mekanisme pengawasan dan penghargaan terhadap minoritas.”[3] Artinya, mayoritas adalah alat, bukan tujuan; ia berguna ketika dikombinasikan dengan etika dan checks and balances.

Dalam konteks teologi kepemimpinan, Kisah Para Rasul 6 memberikan gambaran menarik: ketika gereja mula-mula menghadapi masalah pelayanan bagi para janda, para rasul meminta seluruh jemaat memilih tujuh orang yang penuh Roh. Keputusan itu diambil secara kolektif—melibatkan banyak suara—dan hasilnya membawa stabilitas dan keadilan dalam tubuh gereja. Ini adalah contoh positif ketika mayoritas digunakan untuk mendukung keputusan bijak.

Dari perspektif organisasi, dukungan mayoritas dapat menciptakan shared commitment. Menurut Wibowo (2020), “komitmen kolektif menghasilkan energi organisasi yang sulit ditandingi oleh keputusan individualistik.”[4] Ketika mayoritas mendukung pemimpin, program, atau reformasi tertentu, maka proses implementasinya jauh lebih efektif.

Secara praktis, ada beberapa nilai plus dari bersandar pada dukungan mayoritas:

  1. Legitimasi Kuat
    Dalam organisasi gereja, pemimpin yang dipilih dengan suara mayoritas cenderung lebih dihormati dan memiliki ruang lebih besar untuk menjalankan visi.
  2. Meminimalisir Konflik
    Mayoritas dapat menenangkan berbagai suara perbedaan, sehingga organisasi berjalan dengan damai.
  3. Efisiensi Keputusan
    Keputusan yang didukung mayoritas mengurangi resistensi, memperkuat implementasi, dan meningkatkan efektivitas pelayanan.

Tetapi tentu saja, semua ini menjadi berbahaya ketika mayoritas tidak lagi menjadi representasi moral, melainkan menjadi alat politik.

Bagian 3: Minus: Bahaya Tirani Mayoritas, Penyalahgunaan Kekuasaan, dan Hilangnya Suara Kebenaran

Kalau yang plus tadi terlihat manis, bagian minusnya ini sering kali pahit. Mayoritas dapat dengan mudah berubah menjadi apa yang Alexis de Tocqueville sebut sebagai tyranny of the majority tirani suara terbanyak. Ketika pemimpin tidak benar, namun masih terus merasa aman karena didukung “banyak orang,” maka organisasi akan membusuk dari dalam.

Dalam dunia rohani dan gerejawi, ini paling sering terjadi ketika pemimpin bermasalah mencoba “mengumpulkan suara” untuk melindungi dirinya. Jemaat atau staf yang kritis dianggap melawan “suara mayoritas”. Budaya seperti ini mematikan fungsi profetik gereja. Bahkan Yesus sendiri mengalami fenomena ini: mayoritas massa memilih Barabas dibanding diri-Nya (Mat. 27:20-23). Ketika suara mayoritas bisa salah fatal, apalagi suara mayoritas dalam organisasi yang penuh kepentingan.

Pakar organisasi Gareth Jones (2020) mengingatkan bahwa “kelompok mayoritas mudah menjadi buta terhadap ketidakadilan karena rasa aman kolektif membuat mereka tidak merasa perlu merefleksi diri.”[5] Ini menjelaskan kenapa banyak organisasi terjebak dalam krisis moral karena mayoritas terlalu sibuk merasa benar.

Dalam teologi kepemimpinan, suara mayoritas yang dipakai sebagai tameng mengandung tiga bahaya besar:

1. Membungkam Minoritas Profetik

Sering kali, suara kebenaran justru datang dari minoritas. Nabi-nabi dalam Perjanjian Lama nyaris selalu minoritas; mereka melawan arus, menegur, dan menyatakan kehendak Tuhan. Ketika organisasi mengidolakan mayoritas, suara profetik terancam hilang.

2. Penyalahgunaan Kekuasaan

Mayoritas bisa dimobilisasi oleh figur yang manipulatif. Pemimpin karismatik tapi tidak berintegritas sering memakai mayoritas untuk menutupi kelemahan etika atau keputusan buruk.

3. Menghalangi Pertobatan dan Perubahan

Selama pemimpin merasa “didukung banyak orang”, ia cenderung sulit menerima koreksi. Padahal Amsal 27:6 berkata: “Setia kawan yang dilakukan seorang kawan berarti baik, tetapi ciuman seorang musuh berarti berlimpah-limpah.” Minoritas yang memberi kritik adalah sahabat, bukan musuh.

Ahli politik Daniel Dhakidae (2022) bahkan mengatakan bahwa “mayoritas sering menjadi ruang yang nyaman untuk menyembunyikan kesalahan, sehingga sulit bagi organisasi untuk melakukan transformasi.”[6]

Secara historis, banyak penyimpangan terjadi karena mayoritas diam. Dari skandal-skandal organisasi keagamaan hingga keputusan negara yang kontroversial semuanya sering terjadi bukan karena kurangnya informasi, tetapi karena terlalu banyak orang memilih diam dalam zona aman mayoritas.

Dalam perspektif etika Kristen, Yesus mengingatkan: “Janganlah menghakimi menurut apa yang tampak, tetapi hakimilah dengan adil.” (Yoh. 7:24). Artinya, kebenaran tidak boleh dikalahkan oleh kuantitas suara.

Penutup: Bijak Menggunakan Mayoritas, Setia pada Kebenaran

Suara mayoritas itu seperti api: bisa menghangatkan, bisa juga membakar. Mayoritas memberi stabilitas, legitimasi, dan kekuatan kolektif, tetapi juga membawa potensi tirani, manipulasi, dan kebutaan moral. Karena itu, berlindung di balik suara mayoritas bukan solusi final yang utama adalah berlindung di balik kebenaran.

Dalam setiap organisasi rohani, kebenaran adalah kompas, bukan keramaian suara. Mayoritas harus tetap dihormati, tetapi kebenaran harus selalu menjadi final authority. Yesus berkata: “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh. 8:32). Bukan mayoritas, tetapi kebenaran.



[1] Salim Said, Politik dan Kekuasaan di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2019), hlm. 77.

[2] Veithzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 214.

[3] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2018), hlm. 98.

[4] Wibowo, Manajemen Kinerja (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2020), hlm. 143.

[5] Gareth Jones, Organizational Theory (Jakarta: Erlangga, 2020), hlm. 59.

[6] Daniel Dhakidae, Demokrasi dan Ketidakadilan Publik (Jakarta: Obor, 2022), hlm. 121.


Post a Comment for "Plus Minus Berlindung di Balik Suara Mayoritas Pendukung"