Iman Yang Bertahan Di Tengah Ujian - Khotbah Kristen
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Iman Yang Bertahan Di Tengah Ujian

Iman yang Bertahan di Tengah Ujian ~ “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah supaya kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—beroleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1 Petrus 1:6–7).

Hidup beriman tidak selalu diwarnai oleh pelangi dan sinar mentari; kadang justru badai datang bertubi-tubi. Petrus menulis surat ini kepada umat yang sedang menderita karena iman mereka. Ia tidak berusaha menutupi realita penderitaan, tetapi menunjukkan bahwa di balik ujian, ada maksud surgawi: iman yang murni hanya lahir melalui api ujian.

Iman yang sejati bukan sekadar percaya ketika keadaan baik, melainkan tetap berdiri ketika badai menerpa. Dalam 1 Petrus 1:6–7, kita menemukan tiga kebenaran utama tentang bagaimana iman dapat bertahan di tengah ujian hidup.

1. Ujian Iman Adalah Bagian dari Rencana Allah (1 Petrus 1:6)

“Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan.” Petrus tidak menulis “jika” kamu menderita, tetapi “sekalipun sekarang ini kamu harus berdukacita.” Artinya, penderitaan bukanlah kejutan bagi orang percaya, tetapi bagian dari perjalanan iman yang Allah izinkan untuk membentuk kedewasaan rohani.

Kata “berbagai-bagai pencobaan” (Yunani: poikilois peirasmois) berarti “ujian dalam berbagai bentuk dan warna.” Ujian bisa berupa kehilangan, sakit, fitnah, tekanan ekonomi, atau bahkan pengkhianatan. Namun Petrus menegaskan bahwa di balik semua itu, ada sukacita rohani yang tidak tergoyahkan—karena fokus kita bukan pada penderitaan, tetapi pada keselamatan yang kekal.

Menurut William Barclay (2003), ujian iman bukan tanda bahwa Allah meninggalkan kita, tetapi justru tanda bahwa Allah sedang bekerja di dalam kita. Ia menulis, “Allah tidak pernah menguji seseorang untuk menghancurkannya, tetapi untuk memperkuat dan memperhalus imannya seperti emas yang dimurnikan”.[1]¹

Dengan kata lain, penderitaan bukanlah kutuk, melainkan laboratorium ilahi tempat iman kita diuji dan dibentuk. Saat api kehidupan menyala, emas sejati tidak meleleh, tetapi semakin murni. Begitu pula iman sejati—ia bertahan, berkilau, dan membuktikan dirinya tulus di hadapan Allah.

Seorang teolog modern, John Stott (2015) menegaskan bahwa penderitaan adalah instrumen kasih karunia, bukan kejamnya takdir. Ia menulis, “Di tengah penderitaan, Allah tidak sedang diam; Ia sedang mengukir karakter Kristus dalam diri anak-anak-Nya”.[2]

Maka, setiap penderitaan memiliki makna teologis: Allah sedang memurnikan iman kita agar tidak bergantung pada dunia, tetapi sepenuhnya pada-Nya.

2. Iman yang Sejati Dimurnikan Melalui Api Ujian (1 Petrus 1:7a)

“Maksud semuanya itu ialah supaya kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api...” Petrus menggambarkan iman seperti emas yang dimurnikan dengan api. Proses pemurnian emas tidaklah lembut: emas dipanaskan hingga titik leleh agar semua kotoran terpisah. Demikian pula Allah memakai ujian untuk memisahkan kemunafikan, keangkuhan, dan ketergantungan diri dari iman kita, sehingga yang tersisa hanyalah kepercayaan yang murni kepada-Nya.

Kata “kemurnian” (dokimion) dalam bahasa Yunani berarti “keaslian yang telah terbukti melalui pengujian.” Jadi iman yang sejati bukan hanya percaya, tetapi terbukti bertahan setelah melewati badai.

Menurut Warren W. Wiersbe (2007), “iman yang tidak diuji adalah iman yang belum terbukti”.[3] Ia menjelaskan bahwa seperti emas menjadi bernilai setelah melewati api, demikian pula iman menjadi berharga setelah bertahan dalam penderitaan. Tanpa ujian, iman hanyalah teori; dengan ujian, iman menjadi kesaksian.

Petrus menegaskan bahwa nilai iman lebih tinggi daripada emas, sebab emas akan binasa, sementara iman membawa kita kepada hidup kekal. Ujian iman bukan untuk menunjukkan seberapa lemah kita, tetapi seberapa kuat kasih Allah menopang kita.

Seperti yang dikatakan Charles Spurgeon (1892): “Ketika Allah membawa kita ke dalam api, Ia duduk sebagai pandai emas yang tidak meninggalkan tungku sampai Ia melihat wajah-Nya tercermin di dalam emas itu”.[4]

Begitu pula dengan hidup orang percaya—Tuhan tidak akan meninggalkan kita dalam api penderitaan, karena Ia sedang membentuk rupa Kristus dalam diri kita. Saat kita melewati masa-masa sulit, itu bukan karena Allah jauh, melainkan karena Ia terlalu dekat untuk membiarkan kita tetap sama. Dengan demikian, iman yang bertahan adalah iman yang dimurnikan, bukan dimanjakan. Ia tidak tumbuh di taman kenyamanan, tetapi di padang gurun kesetiaan.

3. Iman yang Bertahan Akan Mendatangkan Kemuliaan Bersama Kristus (1 Petrus 1:7b)

“…beroleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Bagian akhir dari ayat ini mengarahkan pandangan kita pada hari kedatangan Kristus, di mana setiap iman yang setia akan menerima ganjarannya. Petrus menegaskan bahwa semua penderitaan di dunia ini tidak akan sia-sia; akan ada hari di mana Tuhan sendiri memuji iman yang bertahan.

Kata “puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan” menunjukkan penghargaan surgawi yang diberikan kepada mereka yang tetap teguh di tengah ujian. Ini bukan sekadar pujian manusia, tetapi pujian dari Kristus sendiri.

Menurut David Jeremiah (2016), “Ketika kita bertahan di tengah penderitaan, kita bukan hanya sedang menunggu sorga, tetapi sedang membangun sorga dalam diri kita”.[5] Penderitaan yang diterima dengan iman menghasilkan kemuliaan yang kekal.

Paulus juga menegaskan hal ini dalam Roma 8:18: “Sebab aku yakin bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.”

Iman yang bertahan bukan hanya membuktikan keteguhan hati, tetapi juga menyatakan kasih Allah yang tidak tergoyahkan. Dalam setiap air mata orang percaya, ada benih kemuliaan yang sedang ditanam. Dalam setiap luka, Allah sedang melukis mahkota kemenangan.

Dietrich Bonhoeffer (1937), seorang teolog yang mati karena imannya di masa Nazi, menulis, “Anugerah yang murah menuntut sedikit, tetapi anugerah yang sejati menuntut segalanya. Dan justru dalam kehilangan segalanya, kita menemukan Kristus sebagai segalanya”.[6]

Inilah makna terdalam dari iman yang bertahan—iman yang tidak mencari jalan mudah, tetapi tetap setia hingga akhir, sebab kemuliaan yang dijanjikan jauh melampaui penderitaan sementara.

Petrus mengingatkan kita bahwa ujian bukan akhir, tetapi jalan menuju kemuliaan. Iman sejati akan tetap menyala bahkan ketika dunia berusaha memadamkannya. Jika hari ini engkau sedang berjalan dalam lembah air mata, ingatlah: Allah tidak sedang menghukummu, tetapi sedang memurnikanmu. Ia sedang menyiapkan imanmu untuk bersinar pada hari Kristus datang.

Thomas Watson (1660) menulis dengan indah, “Ujian adalah jembatan menuju berkat; orang yang berani menyeberanginya akan sampai pada kemuliaan”.[7]

Maka, jangan menyerah. Iman yang bertahan bukan milik mereka yang kuat secara lahiriah, tetapi milik mereka yang tetap percaya ketika tidak ada alasan untuk percaya. Di saat dunia berkata “habis sudah,” Tuhan berkata, “Aku sedang bekerja.”


[1] William Barclay, The Letters of Peter, Edinburgh: Saint Andrew Press, 2003, hlm. 45.

[2] John Stott, The Message of 1 Peter: Living in the Real World, London: IVP, 2015, hlm. 67.

[3] Warren W. Wiersbe, Be Hopeful: 1 Peter for the Christian Who Is Hurting, Colorado Springs: David C. Cook, 2007, hlm. 34.

[4] Charles Spurgeon, Morning and Evening Devotions, London: Passmore & Alabaster, 1892, hlm. 212.

[5] David Jeremiah, Count It All Joy, Nashville: Thomas Nelson, 2016, hlm. 89.

[6] Dietrich Bonhoeffer, The Cost of Discipleship, London: SCM Press, 1937, hlm. 87.

[7] Thomas Watson, The Beatitudes, Edinburgh: Banner of Truth, 1660, hlm. 54.

Post a Comment for "Iman Yang Bertahan Di Tengah Ujian "