Translate

Menghidupi Kehidupan Di Bumi Seperti Di Sorga

Menghidupi kehidupan di bumi seperti di sorga ~ Tuhan Yesus menyelamatkan umat-Nya bukan untuk diambil dari dunia, tetapi justru ditempatkan di dunia ini. Yohanes 17:15-18, “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia.” Kita bukan lagi dari dunia, meski diambil dari dunia, melalui kelahiran kembali. Kita adalah manusia roh yang dilahirkan oleh Roh. Perjanjian baru dengan sangat tegas mengajarkan tentang kehidupan manusia, “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak. Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka mengandung bisa. Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, kaki mereka cepat untuk menumpahkan darah. Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka, dan jalan damai tidak mereka kenal; rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.” (Roma 3:10-18). Semua manusia tidak ada yang bisa menghidupi kebenaran, hanya mereka yang lahir dari Roh adalah roh dan yang lahir dari daging adalah daging (Yohanes 3:6). Hanya bagi yang telah dikuduskan akan bisa mengalirkan kekudusan dan bagi orang jahat segala sesuatu adalah jahat.
Bagaimanakah seharusnya sikap kita yang hidup ditengah-tengah dunia yang jahat. Apakah benar semuanya jahat ? Tentu kita harus menyadari penilaian jahat dan baik dari manusia sangat berbeda dengan apa yang Allah jadikan standar-Nya. Anak-anak Allah pun tidak ada satupun yang memenuhi standar kekudusan Allah, kita dikuduskan di dalam Kristus, itu saja perbedaannya. Sehingga sikap mendasar kita adalah melihat dengan kasih bahwa segala sesuatu adalah murni bagi yang murni, dan baik dan buruk bagi orang lain adalah milik pribadi setiap manusia, tergantung pada hubungan pribadinya dengan Tuhan. Sehingga bagi kita kebenaran Firman itu kita pegang teguh secara pribadi dan bukan untuk menghakimi orang lain. Sehingga kita tidak memisahkan diri dengan kehidupan di dunia. Ini seperti seekor ikan yang tidak pernah meninggalkan air laut dimana ia hidup dan bergerak, tetapi ia tidak menjadi asin. Tidak ada yang harus menjadi pemisah kita dengan kehidupan sekuler. Kita mengakui dan menyadari bahwa di sekeliling kita, ciptaan Tuhan, semesta yang tidak bersalah dalam dirinya sendiri; dan didalamnya ada begitu banyak tindakan manusia yang tidak baik atau buruk yang dilakukan oleh orang baik atau jahat. Dunia yang sibuk di sekitar kita dipenuhi dengan berbagai aktifitas pekerjaan, perjalanan, pernikahan, membesarkan dan mendidik anak-anak, mengubur orang mati, membeli, menjual, tidur, makan, dan berbaur dalam hubungan sosial bersama dengan sesama kita. Kegiatan-kegiatan ini dan semua hal lain yang mengisi hari-hari kita biasanya dipisahkan dalam pikiran kita dari doa, ibadah di gereja dan tindakan keagamaan. Sehingga tanpa sadar kita telah memisahkan kehidupan sekuler dan kerohanian. Sehingga kita terbiasa melihat (bahkan mungkin juga menghidupi) berbagai kegiatan kehidupan yang rutin dan rumit dengan sepenuhnya percaya pada diri sendiri, tanpa mengacu pada Tuhan atau karya penebusan serta pimpinan Roh Kudus. Kehidupan kekristenan yang kita jalani seolah berusaha mengambil jarak dengan kehidupan sekuler ini, untuk menjaga jarak dengan segala kejahatan yang ada didalamnya. Sehingga kita menganggap hidup agamawi kita lebih suci. Tetapi marilah kita mencoba menggali apa yang Alkitab ajarkan tentangnya. Rasul Paulus mengajarkan bahwa setiap tindakan sesederhana apapun dalam hidup kita selalu memiliki aspek ibadah. “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah,” (1 Korintus 10:31). Dan lagi, “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita,” (Kolose 3:17). Firman Tuhan melalui surat Paulus ini menjadikan segala hal bahkan sekecil apapun dalam kehidupan (sekuler) bisa mewujud menjadi pekerjaan yang mulia bagi Tuhan, yang sering saya nyatakan membuat “Firman menjadi daging”. Yaitu ketika hati kita dipenuhi oleh kebenaran Firman dan kasih Allah yang meluap keluar dalam perkataan dan tindakan, hal yang akan mengubah pekerjaan sekuler menjadi pekerjaan Allah. Buah-buah kehidupan yang bukan dilakukan oleh daging lagi tetapi oleh Roh Kudus yang bersama dengan roh manusia bersaksi sebagai anak-anak Allah melalui karya nyatanya, (Roma 8:16). Sebuah prinsip dasar yang melahirkan perkara rohani, “Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh,” (Yohanes 3:6). Sikap mereka terhadap hal-hal umum dalam hidup akan mengangkat hal-hal yang umum itu memiliki aura keilahian. Hati yang murni yang dipenuhi oleh kasih dan kehidupan ilahi, yang mengalir memenuhi jiwa-jiwa murni ini, seperti sebuah bendungan yang dibuka pintu airnya. Sebuah aliran besar penuh kuasa yang tidak terbendung, akan mengalir keluar meruntuhkan tembok tinggi yang memisahkan berbagai bidang kehidupan mereka satu sama lain dan melihat semuanya sebagai satu; dan yang itu mereka persembahkan kepada Allah sebagai persembahan kudus yang diterima Allah dalam Yesus Kristus. Nicholas Herman yang lahir tahun 1610 di Herimenil, Lorraine yang kemudian menjadi seorang Romo yang dikenal dengan nama Lawrence, ia adalah seorang yang sangat mencintai Tuhan yang sederhana yang menemukan rahasia terbesar bagaimana menghidupi kerajaan Allah di bumi ini. Ini adalah seni "mempraktekkan kehadiran Tuhan dalam suatu rangkaian tindakan yang tanpa berakhir." Dia sering menyatakan bahwa Tuhanlah yang melukis diri-Nya di lubuk jiwa kita. Kita hanya harus membuka hati kita untuk menerima Dia dan hadirat-Nya yang penuh kasih. Sebagai juru masak yang rendah hati, Bapa Lawrence mempelajari pelajaran penting melalui setiap tugas sehari-hari: Waktu yang dia habiskan dalam persekutuan dengan Tuhan harus sama, apakah dia sibuk di dapur dengan segala aktifitas tugas pada saat yang sama atau berlutut dalam doa. Dia belajar untuk memupuk hadirat Tuhan yang dalam dengan begitu menyeluruh di dalam hatinya sendiri sehingga dia dapat dengan gembira berseru, "Dari sekarang sampai selama-lamanya saya melakukan apa yang akan saya lakukan sampai kekekalan. Saya berada di dalam anugerah Tuhan, memuji-Nya, memuliakan-Nya, dan mengasihi-Nya dengan sepenuh hati." Keteladanan dan pengajarannya merupakan sebuah karya klasik yang tak tertandingi, telah memberikan berkat dan petunjuk kepada mereka yang dapat merasa puas dengan tidak kurang bagaimana mengenal Tuhan dalam segala keagungan-Nya dan merasakan kehadiran kasih-Nya sepanjang hari yang sederhana. Sementara beberapa orang pada saat yang sama dalam kesibukan sekulernya menyerukan hal-hal yang berbeda, ia mengajarkan untuk melekat pada Tuhan dalam ketenangan yang luar biasa seolah-olah sedang berlutut di sakramen yang penuh keagungan dan berkat. Fransiskus dari Assisi (1181-1226), seorang muda dengan impian masa depan kemasyhuran dan kejayaan. Hidup dengan gelimang harta dan kekuasaan orang tuanya, ia melakukan segala hal untuk meraih impiannya itu. Tidak cukup berkeliling dari pesta ke pesta, Fransiskus pergi ke medan perang demi menyandang gelar kesatria, simbol status yang terhormat pada masanya. Tetapi Allah memiliki rencana lain. Ia hadir dalam mimpi-mimpi Fransiskus dan mengusik nuraninya. Maka dimulailah pergulatan seorang anak muda untuk menemukan jati diri dan panggilannya. Dan ketika benak Fransiskus dipenuhi berbagai macam ketidak-pastian hidup, dalam suatu keheningan ia bertanya, “Tuhan, apa yang Kau inginkan supaya aku lakukan?”. Setelah bergulat sekian lama, ia memperoleh jawaban yang ditunggunya dari Yesus yang tersalib di Gereja San Damiano, “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah GerejaKu”. Fransiskus kemudian menanggalkan segalanya: kekayaan, kekuasaan, cita-cita tentang kejayaan bahkan orang tuanya. Ia mempersembahkan hidupnya bagi Gereja. Bukan saja membangun Gedung gereja yang hampir runtuh, ia terpanggil untuk membarui hidup menggereja dan menopangnya dengan hidup injili yang sejati. Cita-cita Injil tentang kerendahan hati, hidup yang bersahaja, persaudaraaan dan perdamaian diwujudkannya dalam hidup sehari-hari. Yesus yang miskin telah mengubah pandangannya tentang nilai hidup. Orang kusta yang dulu dipandang menjijikkan kini begitu dikasihi dan dihormati. Ia menerima seluruh ciptaan sebagai rumah ibadahnya dan memanggil segala sesuatu yang besar dan kecil untuk bergabung dengannya dalam pemujaan terhadap Allah. Bumi, matahari yang terik, bulan perak, bintang-bintang malam, angin, air, bunga, buah-buahan - semua diundang untuk memuji Tuhan dan Raja mereka bersamanya. Hampir tidak ada tempat yang tersisa yang bisa disebut sekuler. Seluruh dunia bersinar seperti semak Musa dengan cahaya Tuhan, dan sebelum itu Musa berlutut dan melepas sepatunya. Itulah teladan dan pengajaran Fransiskus, si miskin dari Asisi. Thomas Traherne (1636-1674) adalah seorang penyair dari Inggris, pendeta, teolog, dan penulis agama yang tercatat sebagai penyair mistis terakhir dari kalangan pendeta Anglikan yang paling dikenal pada masanya. Dari kumpulan prosa yang kemudian diterbitkan, ia menyatakan bahwa anak-anak Raja tidak pernah dapat menikmati dunia dengan benar sampai setiap pagi mereka bangun di surga, melihat diri mereka di istana Bapa, dan memandang langit, bumi dan udara sebagai kegembiraan surgawi, memiliki penghargaan yang begitu penuh dengan hormat untuk semua yang ditemuinya seolah-olah mereka berada di antara para malaikat. Semua ini bukan untuk mengabaikan kejatuhan manusia atau untuk menyangkal kehadiran dosa di dunia. Tidak ada orang percaya yang dapat menyangkal kejatuhan, karena tidak ada orang yang dapat menyangkal realitas dosa; dan sejauh yang saya tahu tidak ada pemikir yang bertanggung jawab yang pernah berpendapat bahwa dosa dapat menghasilkan hal lain selain dosa, tidak ada cara memperbaikinya baik dengan doa atau iman atau pelayanan rohani. Dosa dan daging hanya bisa dimatikan dengan kuasa salib, agar bangkit manusia baru (manusia roh), yang menghasilkan perkara-perkara kudus. Baik para penulis Kitab Suci yang diilhami maupun jiwa-jiwa yang diterangi yang mendasarkan ajaran mereka pada Kitab Suci tidak pernah mencoba untuk merubah dosa selain menjadi semakin berdosa. Paulus menyatakan, “Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah,” (Roma 8:19-21). Manusia dan semesta mungkin akan memiliki kesempatan mengenali kesucian dan keilahian dalam segala sesuatu, hanya ketika anak-anak Allah menjalani hidup dalam kemuliaan Bapanya melalui kegiatan keseharian yang memanifestasikan sebagai anak-anak Allah. Saya sering menggambarkan sebagai “Firman yang menjadi daging” atau “mengalirkan dengan deras aliran intuisi ilahi dari dalam roh manusia yang berasal dari Roh Kudus”. Sehingga sebagaimana Traherne melihat kontradiksi yang nyata dan menjelaskannya: “Mengutuk dunia dan menikmati dunia adalah hal-hal yang bertentangan satu sama lain. Bagaimana kita bisa menghina dunia, yang dimana kita dilahirkan untuk menikmatinya? Memang benar saat ini ada dua dunia. Yang satu diciptakan oleh Tuhan, dan yang lainnya oleh manusia dan dosa. Yang dibuat oleh Tuhan itu hebat dan indah. Dan terwujudnya kembali Eden di bumi ini adalah ada ditangan anak-anak Allah, apakah mau menerima dan menghidupi aliran kasih dan kehidupan dari tahta Allah melalui Roh Kudus atau menolaknya. Sebelum kejatuhan manusia tinggal di Eden yang artinya tempat yang penuh dengan kebahagiaan dan sukacita. Adam dan Hawa hidup dalam bait kemuliaan-Nya. Namun ketika kemudian manusia menerima inspirasi dan terikat dosa, yang muncul adalah ide jiwaninya yang mengagungkan diri. Yang dibuat oleh manusia adalah Babel : kekayaan, kemegahan dan kesombongan yang dikejar, dibawa oleh dosa. Berkali-kali saya mengingatkan, bahwa tidak akan ada kebangkitan tanpa kematian dan salib, dan tidak akan ada manusia roh kalau manusia daging tidak mati. Demikian juga tidak ada kemuliaan dalam segala kegiatan dan kesibukan sekuler tanpa menyangkal jiwa berbalik untuk taat memikul salib dan mengikuti Yesus kemanapun kita diperintahkan, saat melakukan berbagai kegiatan itu. Gereja hari ini sedang terseret arus deras dunia sekuler, mencoba berkompromi dengannya. Dengan menerima nilai-nilai dunia, memikirkan pemikirannya dan mengadopsi caranya, kita telah meredupkan kemuliaan yang bersinar sebagai anak-anak Allah. Bukankah seharusnya semua kegiatan manusia itu dialiri sebuah kuasa, kasih dan kehidupan berasal dari intuisi ilahi ? Roh Kudus yang ada didalam diri setiap umat Allah seharusnya yang menjadi sumber inspirasi dan otoritas dalam setiap pekerjaan manusia. Kita tidak akan bisa saat ini membawa penghakiman atas bumi di hadapan Tuhan tetapi kita bisa membawa surga ke penghakiman bumi. Kasihanilah kami, Tuhan, karena kami tidak tahu apa yang kami lakukan! Amin - HK

Post a Comment for "Menghidupi Kehidupan Di Bumi Seperti Di Sorga"