Translate

Kemanakah Dan Bagaimanakah Kita Harus Memberi?

Kemanakah dan bagaimanakah kita harus memberi? ~ Landasan firman Tuhan untuk tema kemanakah dan bagaimanakah kita harus memberi? diambil dari kitab Amsal 3:27 dan 2 Korintus 9:7. Ada aneka ragam alasan orang mau memberi. Ada yang memberi karena terpaksa, memberi tanpa rasa, memberi sebagai kewajiban agama, memberi untuk menerima, memberi demi menaikkan nama, memberi dengan sukacita, memberi karena cinta atau memberi untuk membangun karya. 1. Memberi karena terpaksa. Ini adalah bentuk memberi dalam kasta terendahnya. Pemberian kita tidaklah akan mendatangkan sukacita kecuali gerutu adanya. Misalnya kita dipalak oleh preman baik dengan cara halus atau kasar, pasti pemberian kita jauh dari kerelaan. Eh, kita bisa juga lho dipalak oleh keadaan. Dimana kiri kanan, depan belakang kita memberi persembahan (yang diedarkan oleh kolektan) maka ada rasa tak enak jika tak memberi, padahal uang kita tinggal 100 ribu di dompet. Nah, karena itu ada Firman yang berkata: "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" - (2 Korintus 9:7).
2. Memberi tanpa rasa. Misal saat kita lagi asyik ngobrol dengan kolega sambil menikmati makan siang, tiba tiba ada pengemis datang. Maka spontan kita ambil uang kecil kita dan mengulurkan untuk pengemis itu tanpa rasa. Kita masih asyik berbincang dan berfokus pada makanan kita. Ini biasanya terjadi jika pemberian yang kita berikan itu memang tak berasa nominalnya. Kepada Tuhan kita juga bisa (bahkan sering) melakukannya 😁, yakni apabila kita memberikannya tanpa rasa dan fokus kita bukan padaNya. Mother Theresa pernah mengajarkan satu cara disiplin rohani dalam memberi, yakni memberi (mencinta) hingga terluka. 3. Memberi sebagai kewajiban agama. Perpuluhan, persembahan syukur atau persembahan kolekte mingguan di gereja, bisa juga menjadi kegiatan ritual karena kewajiban agama. Sebab semua yang bercirikan ritual itu dikerjakan secara rutin dengan cara dan jumlah yang sama. Misalnya kalau kita memberikan uang kepada istri kita dengan jumlah yang sama terus (entah saat kita dapat bonus atau tidak), maka itu lebih dicirikan pada bantuan atau kewajiban suami kepada istrinya. Jadi kalau kita memberikan persembahan kepada Tuhan dengan cara dan jumlah yang sama terus, maka besar kemungkinan itu karena ritual kewajiban agama. Memang tidak ada yang salah dengan pemberian karena kewajiban, itu sah dan boleh saja. Namun jauh akan lebih indah jika pemberian itu disertai dengan sukacita, kreativitas dan cinta. Tuhan Yesus bersabda: "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga" (Matius 6:1). 4. Memberi untuk menerima. Memberi dengan harapan menerima itu namanya pamrih. Walau pamrih tak selamanya berkonotasi negatif. Bisa jadi itu adalah ukuran wajar dalam kehidupan. Misalnya saya memberi waktu dan tenaga dengan bekerja keras, maka wajarlah jika saya mengharapkan mendapat imbal hasil yang sesuai dengan pekerjaan saya. Ini namanya hukum tabur tuai. Siapa yang menabur dialah yang akan menuai, baik dalam hal kebaikan maupun dalam perkara kejahatan. Ketika Petrus bertanya kepada Yesus apa yang ia akan dapatkan jika meninggalkan segala sesuatu untuk mengikutiNya, maka Yesus berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya, orang tuanya atau anak-anaknya, akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal" (Lukas 18:29-30). Memberi untuk menerima bisa menjadi tidak tepat pemaknaan maupun penerapannya apabila kita memberi sedikit (sebagai umpan) untuk mendapat banyak (sebagai imbalan). Jauh dari kesungguhan dan ketulusan. Nah, orang orang seperti ini akan mudah tergiur oleh investasi bodong atau janji janji surga yang too good to be true. Alih alih akan mendapatkan banyak dari usaha yang sedikit, ia justru akan kehilangan banyak dengan perasaan pahit. 5. Memberi demi nama. Ini namanya flexing atau pamer. Ini tidak hanya terjadi di kalangan politikus menjelang pemilihan umum, selebritis di konten amal yang dijadikan konten medsos, atau tokoh agama untuk mendapatkan pujian. Tuhan Yesus menegur para tokoh agama yang bermental demikian (bandingkan Matius 23:1-6), sambil mengingatkan : "Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga" (Matius 6:1) 6. Memberi dengan sukacita. Apakah ada? Oh ada banyak ragamnya. Mulai dari yang sederhana sampai yang disebut kasih seorang sahabat. Memberi dengan sukacita atau bahkan berebut ini bisa kita jumpai pada pertemuan antar sahabat dan saudara di restoran. Ada yang nitip dulu di kasir, ada yang cepet cepetan bayar usai makan pokoknya pada rebutan bayar dan yang menarik itu semua dilakukan dengan suka hati. Memberi dengan kasih seorang sahabat pasti disertai dengan hati yang bersuka. Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran (Amsal 17:17). Oo betapa indahnya jika kita memiliki banyak sahabat dan bahkan lebih indah lagi jika kita bersedia menjadi sahabat bagi orang lain. Itulah yang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus. Dia berkata: "Sebab tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya dan kamu adalah sahabatKu" (Yohanes 15:13-14). Bersambung…!

Post a Comment for "Kemanakah Dan Bagaimanakah Kita Harus Memberi? "