Translate

Mengajar Anak Hidup Sederhana

Mengajar anak hidup sederhana ~ Ada yang berkomentar, saya siap menderita tapi saya tidak bisa melihat anak dan keluarga saya juga menderita karena pelayanan ini. Saya bisa memahami komentar seperti ini, karena saya juga punya anak. Teringat waktu anak sulung kami saat usia 4 tahun di mana kami pindah dari Bali ke Makassar. Kami memulai semua dari nol dan semuanya serba baru. 


Sebagai dosen muda dengan gaji 275 ribu rupiah di tahun 1994 tentu sangat pas-pasan karena harus menghidupi istri dan satu anak. Teringat pada waktu kami berbelanja bulanan naik becak ke Matahari Latanete Plaza di Jalan Sungai Saddang di tengah kota Makassar. Sehabis berbelanja barang bulanan, kami keluar dan anak saya melihat Kentucky Fried Chicken persis di pintu masuk mal itu. Dia mengajak kita makan ke sana saja. 


Saya dan istri menatap karena kami tak punya uang lagi. Saya membujuknya untuk makan lain kali saja di KFC. Saya usul bagaimana kalau kita makan di Warung Bakso Solo di depan kampus? Dia diam saja dan di becak dia meneteskan air mata. Istri terdiam dan saya terpukul berat. Tidak mudah memang melihat anak bersusah hati karena tak tercapai kerinduannya hanya untuk menikmati ayam dan hadiah boneka kecil, tapi saya kemudian mengatakan pada diri bahwa dia harus diajar bagaimana hidup yang apa adanya. Itu berat.

Mengajar anak hidup prihatin menjadi penting manakala fakta bahwa fase kehidupan tidak selalu sama. Apalagi saat memasuki pandemi seperti saat ini. Anak-anak sekalipun polos sejatinya dapat diajar kebenaran tentang keprihatinan, penderitaan dan juga bagaimana menggunakan uang dengan baik dan bertanggung jawab. Ada beberapa masukan bagi orang tua mengajar anak hidup prihatin:


Pertama, orang tua harus memperlihatkan mereka bahagia walaupun hidup sederhana. Banyak orang tua suka bertengkar karena masalah ekonomi yang pas-pasan. Jika tidak ada teladan maka tidak bisa anak diharapkan belajar penderitaan. Jangan sampai anak berpikir kesusahan orang tua saya karena dia hamba Tuhan. Jadilah anak-anak antipati terhadap pelayanan. Orang tua sepatutnya menjadi contoh bahwa dalam kesederhaaan mereka tidak mengeluh, malah selau bersyukur. Kebaikan Tuhan tetap nyata dalam berbagai musim kehidupan.


Kedua, ajarkan prinsip kerja sejak kecil bahwa uang itu ada karena kerja. Jika dia mendapatkan hadiah karena ada kerja yang dilakukannya. Jangan penuhi semua keinginan anak tanpa syarat. Artinya, ajak anak ikut bekerja untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, walaupun mungkin tabungannya sedikit dan sisanya ditutupi orang tua.


Ketiga, ajar menabung dan hidup hemat. Jika ingin mendapatkan sepatu yang bagus atau barang berharga, maka tabunglah uang dulu untuk dapat membelinya. Dulu waktu kecil ibu saya suka memberikan celengan di awal tahun. Kami sungguh menanti-nantikan waktu Desember menjelang Natal di mana akhirnya kami pecahkan dan berbinar mata melihat uang yang begitu banyak. Ayah dan ibu membuat peristiwa pemecahan celengan menjadi acara penting di mana mereka akan memuji tabungan kita dan menanyakan mau dibelikan apa. Orang tua menghargai uang receh yang terkumpul itu.


Keempat, jauhi gaya hidup hedonis. Tak mudah memasuki dunia saat ini dibandingkan saya dulu yang hidup di tahun 70-an. Dulu hanya ada radio dan TVRI, tapi sekarang mata sudah dirangsang untuk beli dan beli. Jati diri belum lengkap rasanya kalau belum memiliki benda tertentu dan merek tertentu. Orang berlomba mengejar penampilan lahiriah. Tak heran membeli baju bukan lagi waktu Natal, hampir tiap akhir pekan beli barang di zaman sekarang ini. Suka tak suka hal ini harus dibahas, kapan waktu beli baju dan seberapa namanya cukup. Itu harus dikomunikasikan.


Kelima, dalam kesederhaaan ajar anak-anak tetap memberi dan menolong sesama. Bukan tunggu waktu kaya baru memberi dan mengasihi orang lain. Di dalam memberi kita mengajar anak untuk melihat ada orang lain yang lebih susah yang harus ditolong. Itu bisa dilakukan dengan pergi ke rumah yatim piatu. Biasanya bukan anak di rumah yatim yang bahagia, tapi si pemberi pun akan merasakan bahagia yang sama melihat hidupnya bermakna bagi sesama.


Tak mudah menolong anak untuk hidup sederhana dan apa adanya, namun jika tidak diajarkan maka jangan berharap anak menjadi manusia mandiri dan berhasil dalam hidupnya. Malahan dia akan menjadi parasit bagi sesamanya dan menyusahkan orang tuanya sampai di hari tuanya.

Sumber : Pdt. Dr. Daniel Ronda (Ketua Umum Sinode GKII)

Post a Comment for "Mengajar Anak Hidup Sederhana"