The Engaged Church
The Engaged Church ~ Landasan firman Tuhan untuk tema tersebut diambil dari surat rasul
Paulus kepada orang Kristen yang ada di kota Filipi. Rasul Paulus menulis: “Karena
itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam
satu kasih, satu jiwa, satu tujuan” – Filipi 2:2.
Kutipan firman Tuhan di atas menegaskan tentang kerinduan rasul Paulus
kepada orang Kristen yang ada di kota Filipi tetapi bagi kita sebagai pengikut
Kristus pada masa kini yaitu supaya kita terus mengalami pertumbuhan yang
positif dalam interaksi dan persekutuan kita.
Ada tiga tahap kedewasaan manusia menurut Covey (1989), yaitu dependent (bergantung), independent (mandiri),
dan interdependent (saling
bergantung). Pada tahap pertama (dependent),
seseorang punya kecenderungan untuk menyalahkan orang lain, “gara-gara kamu
sih”. Tahap ini adalah tahap anak-anak, dimana seseorang masih dirawat atau
diasuh oleh orang lain.
Pada tahap kedua (independent),
seseorang sering menyalahkan diri sendiri, “saya tidak mungkin dapat
melakukannya”. Tahap ini sama seperti seseorang yang sudah meninggalkan rumah
orang tuanya, bisa mencari nafkah, dan bisa melakukan banyak hal secara
mandiri, sehingga tidak lagi membutuhkan orang lain untuk bisa bertahan hidup.
Sementara, pada tahap ketiga (interdependent),
seseorang lebih sering menggunakan kata “kita”. Dengan kata lain, ia akan
memikirkan kepentingan bersama, bukan hanya orang lain ataupun diri sendiri.
Pada tahap ini, orang bekerja sama untuk meraih tujuan bersama.
Palus (2009: 5-6) melihat bahwa tahapan kedewasaan yang juga disebut
tahapan kebijaksanaan (stages of wisdom) ini, berkembang dalam budaya
kepemimpinan. Budaya dependent leadership lebih
menekankan pada persoalan tradisi, kepemilikan, kekuasaan dan kemampuan
bertahan. Budaya independent leadership menekankan pada perjalanan
diri, kekuatan pengalaman pribadi dan pemikiran rasional.
Sedangkan, budaya interdependent
leadership menekankan pada interkoneksi segala sesuatu. Sebagaimana
idealnya manusia berkembang dari dependent menuju interdependent, demikian juga
dalam hal organisasi. Organisasi yang baik adalah organisasi yang menganut
budaya interdependent leadership, dimana
di dalamnya terdapat aktivitas kolektif yang melibatkan saling bertanya dan
saling belajar (mutual inquiry and learning).
Organisasi seperti ini akan
menuntun anggotanya pada penggunaan dialog, kolaborasi, jaringan horizontal,
penghargaan atas kepelbagaian, dan fokus pada pembelajaran. Demikian juga dengan gereja. Secara
organisasi, gereja lahir dari semangat kebersamaan dan kesalingbergantungan.
Hal ini dapat kita lihat dari kehidupan jemaat mula-mula (Kisah Para
Rasul 2: 41-47), dimana mereka hidup dalam persekutuan (koinōnia),
kesatuan, ada kepemilikan bersama, dan saling berbagi.Sikap hidup jemaat mula-mula
ini sudah menunjukkan adanya interdependent yang
sangat kuat. Mereka belajar dan bertumbuh bersama-sama, sehingga yang satu
menjadi bagian tak terpisahkan dari yang lain.
Gereja menjadi “rumah bersama”, dimana setiap anggotanya saling
melengkapi dan saling mengisi. Kepentingan bersama menjadi prioritas bersama,
sehingga mereka mengalami pertumbuhan yang baik di tengah-tengah kuatnya
tekanan dari luar. Inilah yang disebut the engaged church oleh
Winseman (2007), dimana ada relasi dan keterikatan yang kuat di antara
anggota-anggotanya.
Namun, seiring perkembangan zaman, kebersamaan dalam gereja juga ikut
memudar. Ketika gereja berkembang menjadi beragam organisasi, maka kepentingan
yang menguat adalah kepentingan masing-masing organisasi. Tidak hanya itu, di
dalam satu organisasi, khususnya dalam satu sinode, tak jarang terjadi
ketidaksinergian antargereja anggotanya. Ada gereja yang bertumbuh semakin
besar, sementara yang lain terseok-seok bahkan sekarat. Tentu saja situasi
semacam ini sangatlah memprihatinkan dan tidak sehat bagi keutuhan gereja itu
sendiri.
Post a Comment for "The Engaged Church"