Translate

Ciri Gereja Yang Tidak Bertumbuh 3

Merasa cukup dan puas
De Brigard (2010: 43-57) pernah meneliti seberapa kuatkah keinginan orang untuk mengalami perubahan dari keadaan yang ada. Hasilnya, sebanyak 41 persen responden memilih untuk berubah, sedangkan 59 persen memilih untuk tetap pada keadaan mereka.

Penelitian De Brigard ini menunjukkan ketika manusia diperhadapkan pada pilihan situasi, manusia punya kecenderungan untuk memilih situasi yang lebih kenali. Artinya, tawaran perubahan cenderung ditolak, apalagi jika seseorang terlanjur nyaman dengan situasi yang sudah ada. Inilah yang disebut status quo bias, ketika seseorang cenderung untuk menolak perubahan-perubahan yang ada.

Status quo bias sangatlah lazim dimanapun, termasuk di dalam gereja. Bahkan, jumlah anggota jemaat yang lebih nyaman dengan apa yang ada cenderung lebih banyak daripada mereka yang mengharapkan perubahan. Apalagi jika ternyata mayoritas pengurus gereja berada dalam kondisi yang sama. Mereka kuatir jika perubahan yang dilakukan akan menghabiskan energi, sumber daya, dan dana yang besar, sehingga lebih baik bertahan dengan apa yang ada.

Gereja mula-mula pun pernah mengalami kondisi yang demikian, ketika mayoritas para Rasul di Yerusalem merasa nyaman dengan pelayanan mereka di Yerusalem dan terhadap orang-orang Yahudi. Hasilnya, Injil Yesus Kristus hanya stagnan di Yerusalem, bahkan nyaris lenyap seiring dengan tekanan-tekanan dari pihak Yahudi. Apa yang kemudian dilakukan oleh Rasul Paulus adalah mendobrak status quo yang ada dengan menyebarkan Injil ke orang-orang non-Yahudi.



Gereja yang merasa nyaman dengan situasi dan kondisi yang ada perlahan-lahan akan ditinggalkan oleh anggota jemaatnya. Sebab, meskipun sebagian besar di antara mereka tidak suka dengan perubahan, tetapi mereka pun bisa mencapai titik jenuh terhadap rutinitas yang ada.

Dikuasai uang
Tidak dapat dipungkiri bahwa gereja membutuhkan dana untuk mengembangkan pelayanannya, tetapi menjadi persoalan ketika persoalan dana menjadi prioritas utama gereja. Gereja yang sekarat adalah gereja yang terlalu berorientasi pada uang. Pelayanannya akan terarah pada anggota-anggota jemaat yang berduit, sementara pelayanan kepada anggota jemaat yang biasa-biasa saja akan terbengkalai.

Anggota-anggota jemaat yang kaya akan diberi posisi penting dalam struktur gereja, mereka akan disambut dengan sangat terhormat ketika masuk ke ruangan gereja, permohonan pelayanan mereka tidak pernah ditolak, bahkan jika perlu nama mereka selalu masuk dalam pokok-pokok doa gereja. Pada akhirnya, setiap program gereja termasuk khotbah-khotbah disesuaikan sedemikian rupa agar sejalan dengan apa yang mereka mau. Gereja menjadi lebih takut pada orang kaya daripada kepada Allah. Ketika uang menguasai pelayanan gereja, maka pelayanan itu sendiri telah rusak.

Tidak siap menghadapi perkembangan
Zaman terus berkembang, demikian juga dengan peradaban manusia serta segala sesuatu yang menopang peradaban itu, terutama pengetahuan dan teknologi. Jika gereja gagal mengantisipasi perkembangan dan tak siap mengikuti perkembangan dengan tetap dalam kebenaran maka bisa menjadi sekarat. Gereja menarik dan hidup bila menyatakan kebenaran sesuai dengan perkembangan zaman.

Kemajuan teknologi turut memberi rasa nyaman bagi anggota jemaat dalam berinteraksi dengan gereja dan dalam beribadah. Segala informasi dan komunikasi dari dan ke gereja dapat tersampaikan dengan lebih cepat, demikian juga penggunaan teknologi audio dan visual sangat membantu dalam ibadah-ibadah di gereja.

Gereja yang cenderung bertahan dengan model-model yang tradisional tanpa berusaha menyesuaikan dengan perkembangan zaman, pada akhirnya akan tergilas oleh arus perubahan yang ada. Tetapi perkembangan zaman juga harus disikapi secara wajar oleh gereja, sebab gereja yang cenderung ikut arus perkembangan juga dapat berdampak kurang sehat terhadap gereja itu sendiri. Sumber: gkridcdotcom

Post a Comment for "Ciri Gereja Yang Tidak Bertumbuh 3"