Translate

Ciri Gereja Yang Tidak Bertumbuh 2

Mengutamakan organisasi
Gereja sebagai persekutuan tentunya membutuhkan organisasi yang kuat, tetapi bukan berarti bergantung atau mementingkan organisasi. Organisasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan bersama, dimana di dalamnya terdapat sistem dan mekanisme kerja yang dirancang dan disepakati bersama untuk dijalankan dan menjadi penggerak organisasi itu sendiri.

Gereja yang sekarat tidak lagi melihat organisasi sebagai alat, melainkan sebagai tujuan itu sendiri. Artinya, eksistensi gereja semata-mata hanyalah untuk menciptakan organisasi yang baik. Dalam perkembangannya, gereja akan menjadi sangat kaku dan terlalu birokratis. Gereja terjebak pada sistem, sehingga terkadang kurang luwes dalam merespon perubahan yang ada. Kekakuan ini pada akhirnya dapat membuat gereja hanya jalan di tempat.

Pengaruh sains
Pesatnya perkembangan zaman memang menuntut pentingnya jawaban-jawaban logis atas banyak hal. Apa yang dialami oleh gereja-gereja di Barat adalah bagaimana mereka merespon tantangan-tantangan kaum sekuler atas ajaran-ajaran teologis yang dianggap sudah usang. Akibat hal tersebut, gereja mau tidak mau harus memberi jawaban.

Masalahnya, ada begitu banyak jawaban gereja dianggap tidak logis bahkan cenderung tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Menghadapi hal tersebut, tidak sedikit gereja berusaha untuk berkompromi dengan ilmu pengetahuan modern, sehingga iman Kristen dicoba untuk dijelaskan dengan nalar ilmiah.


Kajian-kajian historis, linguistik, filosofis, psikologis, dan sebagainya menjadi senjata pamungkas, sehingga jadilah konsep-konsep iman Kristen disusun bak buku sains modern, sementara Alkitab kian terpinggirkan, bahkan hanya dianggap sebagai kumpulan mitos yang sulit diterima akal sehat.

Alkitab tidak lagi memiliki otoritas yang kuat dalam ajaran-ajaran gereja, sebab kajian-kajian terhadap Alkitab cenderung menggunakan metode-metode hermeneutik sains, bukan lagi hermeneutik biblikal.

Tak hanya Alkitab, pribadi Yesus Kristus pun dipaksakan untuk dikaji secara historis dengan melepaskan konsep-konsep iman yang telah lama melekat dalam dogma gereja. Yesus tidak lagi dilihat sebagai ilahi, tetapi semata-mata sebagai manusia biasa yang secara politis gagal membangun kekuatan perlawanan terhadap penjajahan Romawi dan kesewenang-wenangan para ulama Yahudi. Kebangkitan Kristus pun lebih dilihat sebagai kebangkitan moral, bukan lagi kebangkitan fisik sebagaimana tercantum dalam Pengakuan Iman Nicaea-Konstantinopel dan

Pengakuan Iman Rasuli.
Terjebaknya gereja dalam pendekatan-pendekatan sains semacam ini pada akhirnya menggerogoti gereja itu sendiri bahkan membawa gereja ke tempat pembantaian atas dirinya sendiri.

Pengajaran terkesan rohani
Gereja-gereja yang terlihat meriah dan dikunjungi oleh ribuan orang, sering dianggap sebagai gereja yang bertumbuh dan hebat serta berkenan kepada Allah. Namun, pada kenyataannya tidak mengajarkan ajaran Alkitab dan kalau pun mengajarkannya, hanya sebagian atau mencampuradukkan dengan ajaran yang aneh-aneh.

Fenomena semacam ini bukanlah fenomena baru, sejak abad pertama model gereja seperti ini telah tumbuh dan berkembang, bahkan memiliki pengikut yang cukup banyak. Salah satunya adalah Marcion, seorang uskup dari kota Sinope. Ia mengajarkan hidup askese, berpantang makan daging, minum anggur dan menikah. Ia juga mengajarkan pembaptisan orang mati. Pengikutnya sangat banyak dan tersebar di Itali, Mesir, Afrika Utara, Siprus dan Siria. Ajarannya sendiri kemudian lebih dikenal dengan sebutan marcionisme (Wellem, 1993: 179-180).

Salah satu faktor pendukung pesatnya perkembangan marcionisme adalah karena mereka banyak mengutip ayat-ayat dari dalam Alkitab, meskipun pada saat itu, gereja belum mengkanon Perjanjian Baru. Marcion berinisiatif untuk menyusun daftar kitabnya sendiri, dan berusaha menghapus pengaruh Yudaisme dalam gereja, sehingga ia hanya menerima Injil Lukas.

Pada masa sekarang, gereja telah memiliki susunan kitab yang tetap, meskipun terdapat perbedaan komposisi antara Gereja Ortodoks, Katolik, dan Protestan. Namun, susunan kitab yang tetap tidak menjamin hilangnya model-model pemikiran seperti Marcion. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya perbedaan metode tafsir serta latar belakang pendidikan teologi para pemimpin gereja.

Perbedaan-perbedaan metode tafsir semacam ini memberi peluang adanya penafsiran yang menyimpang, apalagi berangkat dari penafsiran harfiah terhadap ayat-ayat Alkitab ditambah dengan percampuran dengan sumber-sumber pengajaran yang tidak jelas landasan Alkitabnya.

Gereja yang mengembangkan pengajaran yang semacam itu bisa dikategorikan sekarat, sebab mengajarkan apa yang seharusnya tidak diajarkan gereja. Anggota jemaat dapat teralih fokusnya pada hal-hal di luar Kristus dan karya keselamatan Allah, sehingga pada dasarnya mereka bisa kehilangan fondasi iman Kristen. Sumber: gkridcdotcom

Post a Comment for "Ciri Gereja Yang Tidak Bertumbuh 2"