Translate

Ciri Gereja Yang Tidak Bertumbuh 1

Ciri gereja yang tidak bertumbuh ~ Gereja semakin berubah dari masa ke masa. Persaudaraan dan keterikatan tidak lagi kuat, sebaliknya gereja menjadi semakin cuek atau masa bodoh dengan keadaan di sekitarnya. Tidak sedikit anggota gereja yang kurang mendapatkan perhatian dari gereja, baik itu masalah kesehatan, ekonomi, pendidikan, kerohanian, moral, dan berbagai hal lainnya. Begitu juga dengan keadaan masyarakat sekitar.

Banyak gereja mampu membangun gedung dengan fasilitas mewah, tetapi kurang memperhatikan keadaan sosial di sekitarnya. Perubahan lain yang juga kerap terjadi dalam gereja adalah perubahan suasana ibadah. Gereja yang biasanya dipenuhi dengan sorak-sorai berubah menjadi kalem adem karena semakin bosan dengan rutinitas yang ada. Ibadah tetap berlangsung, tetapi kehilangan jiwanya. Beban pelayanan yang tinggi terlalu menguras tenaga pelayan-pelayan yang ada tanpa diimbangi dengan pelayanan terhadap para pelayan. Akibatnya, keterlibatan para pelayan seperti dipaksakan dan kurang motivasi.

Kurangnya motivasi juga disebabkan karena kebiasaan gereja untuk “menunggu”, bukan lagi “mengajak”. Gereja yang engaged berubah menjadi “gereja warung”, yang sibuk “menjajakan pelayanan”. Anggota jemaat tidak lagi menjadi bagian dari “satu persaudaraan” dalam satu “rumah bersama” tetapi menjadi “pelanggan” yang berasal dari luar. Gereja menjadi sibuk “menerima” bukan lagi “memberi”; menanti “dilayani” bukan lagi “melayani”.


Prinsip-prinsip ini sangat jauh berbeda dengan teladan yang telah diberikan oleh Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja. Domba-domba yang seharusnya “diajak” untuk masuk ke dalam kandang, terkadang dibiarkan berkeliaran dan gereja hanya bisa berharap mereka bisa “pulang kandang”. Ajakan-ajakan melalui khotbah, lembaran-lembaran warta, ataupun kiriman-kiriman melalui pesan-pesan instan (WhatsApp, BBM, Messenger, dsb) dan media-media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, Path, dsb) dirasa cukup, padahal jemaat membutuhkan interaksi langsung.

Gereja semakin fokus pada dirinya sendiri bukan lagi pada ladang pelayanannya. Kenyataan ini dapat dilihat dari fokus pengembangan gereja, dari pengembangan rohani menjadi pengembangan fisik. Kualitas gereja diukur dari seberapa megahnya gedung dan sarana prasarana yang ada, bukan lagi pada kualitas kerohanian anggotanya. Alokasi dana gereja banyak tersedot ke pembangunan dan pemeliharaan inventaris gereja dibanding kegiatan-kegiatan pembinaan spiritual, pengembangan masyarakat, pendidikan dan pelatihan, atau kegiatan-kegiatan sejenis yang fokus pada pembentukan manusia, sehingga jiwa “memuridkan” menjadi luntur bahkan nyaris hilang.

Fenomena semacam ini terjadi nyaris di semua denominasi gereja. Pertumbuhan jemaat cenderung stagnan atau bahkan berkurang dari tahun ke tahun. Ibarat pasien di rumah sakit, gereja sedang sekarat, sebab semakin banyak jiwa memilih untuk keluar dari gereja. Kalaupun mereka tetap di dalam satu gereja, kecenderungannya adalah pasif, hanya memenuhi ritual keagamaan saja atau sekedar “hadir” dalam persekutuan orang-orang percaya tanpa ada pertumbuhan kerohanian yang signifikan dan tanpa ada beban untuk terlibat penuh dalam pelayanan gerejawi.
Setidaknya ada sembilan hal yang menyebabkan gereja sekarat (bandingkan Gultom, 2011):

Pemimpin yang tidak rohani
Salah satu gejala sekaratnya sebuah organisasi gereja adalah adanya kebergantungan yang kuat pada sosok pemimpin. Program-program kerja gereja hanya bisa berjalan apabila pemimpin gereja yang mengkoordinasikan, sehingga tanpa kehadiran pemimpinnya, gereja menjadi stagnan. Kuatnya sosok pemimpin gereja adakalanya memunculkan sikap pengkultusan atas individu sang pemimpin. Terkadang nama pemimpinnya lebih dikenal daripada nama gerejanya.

Gereja semacam ini akan benar-benar sekarat ketika pemimpinnya tidak hidup dalam iman dan kekudusan. Pemimpin tidak lagi hidup seturut dengan apa yang ia khotbahkan dan apa yang menjadi tuntutan dalam Alkitab.

Sebagai role model dalam gereja, pemimpin seperti ini akan memberikan contoh yang buruk bagi anggota jemaat. Mereka akan menganggap bahwa tidak ada lagi urgensinya untuk hidup dalam tuntutan kekudusan. Ada impartasi negatif dari pemimpin kepada anggota jemaatnya, sehingga akan sulit mengharapkan adanya pertumbuhan yang positif dalam kerohanian anggota jemaat. Teguran-teguran terhadap kesalahan atau dosa mereka akan dikembalikan kepada sosok pemimpin mereka, sehingga pemimpin dan para pelayan lambat laun kehilangan kekuatan penggembalaan.


Sumber: gkridcdotcom

Post a Comment for "Ciri Gereja Yang Tidak Bertumbuh 1"