Anti Klimaks Penyembahan Dalam Gereja
Anti klimaks penyembahan dalam gereja ~ Landasan firman Tuhan untuk tema tersebut diambil dari Injil
Markus 15:16-20. Secara lengkap firman Tuhan yang ditulis oleh Markus, saya
sajikan di bwah ini.
“Kemudian serdadu-serdadu membawa Yesus ke dalam istana, yaitu
gedung pengadilan, dan memanggil seluruh pasukan berkumpul. Mereka mengenakan
jubah ungu kepada-Nya, menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas
kepala-Nya.
Kemudian mereka mulai memberi hormat kepada-Nya, katanya: “Salam,
hai raja orang Yahudi!” Mereka memukul kepala-Nya dengan buluh, dan
meludahi-Nya dan berlutut menyembah-Nya. Sesudah mengolok-olokkan Dia mereka
menanggalkan jubah ungu itu dari pada-Nya dan mengenakan pula pakaian-Nya
kepada-Nya. Kemudian Yesus dibawa ke luar untuk disalibkan”.
Peristiwa
penangkapan; penyiksaan sampai kepada penyaliban dan kematian Yesus
mempertontonkan berbagai anti klimaks. Anti klimaks pertama berkaitan dengan
Murid; kedua anti klimaks pemimpin.
Apa itu penyembahan?
Penyembahan merupakan cara, proses dan perbuatan
menyembah yang dilakukan oleh seseorang kepada suatu subyek yang dianggap
sebagai berkuasa, mulia, agung dan terhormat. Penyembahan adalah sebuah sikap
dan perbuatan yang penuh hormat dan pengagungan dari seorang yang lebih rendah
kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya. Umumnya penyembahan diberikan
kepada seorang raja mulia atau kepada TUHAN saja.
Kata “penyembahan” berasal
dari kata “Proskuneo”. Kata “proskuneo” ini terdiri dari dua kata, yaitu kata “pros”
artinya: kedekatan, dan kata “kuon”, artinya: anjing. Jadi kalau digabungkan,
maka menjadi: “like a dog licking his master’s hand” – Seperti anjing menjilat
tangan tuannya.
Inilah gambaran ketika kita
menyembah Tuhan, yaitu seperti anjing menjilat tuannya. Ternyata menjilat
tuannya adalah cara anjing mengekspresikan kasihnya, kesetiaannya, dan
ketaatannya kepada tuannya.
Setiap kali kita menyembah
Tuhan, kita perlu merendahkan diri kita di hadapan Tuhan seperti seorang hamba
kepada tuannya. Tapi yang luarbiasa adalah relasi hamba dan tuan ini bukanlah
relasi yang kaku, lalu ketaatan sebagai kewajiban dan menyembah sebagai
rutinitas.
Sebaliknya, ini adalah relasi
yang intim, ketaatan karena kasih kepada tuannya, menyembah Tuhan dari
kecintaan yang luar biasa kepada Tuhan. Jadi, saat kita menyembah, itulah saat
kita mengekspresikan kasih, kesetiaan dan ketaatan kita kepada Tuhan.
Penyembahan selalu diekspresikan melalui
sebuah pemberian dan sikap tubuh dari seorang penyembah kepada yang disembah. Hal
itu juga dilakukan oleh para serdadu-serdadu yang menangkap Yesus. Para serdadu
itu memberikan Yesus “jubah ungu” dan “mahkota”. Jubah ungu dan mahkota adalah
simbol dari keagungan dan kemuliaan raja (ay 17).
Kemudian para
serdadu itu memberikan penyembahan melaui gerakan tubuh dengan memberi hormatdan
berlutut menyembah-Nya (ay 19). Tetapi penyembahan yang diberikan para serdadu
itu menjadi ironi. Karena penyembahan tersebut hanyalah sebagai olok-olok yang
menghina dan penyiksaan kepada Yesus.
Para serdadu
telah menjadikan penyembahan sebagai olok-olok dan penghinaan. Ini adalah Ironi
penyembahan. Bagaimanakah penyembahan yang anda berikan kepada Yesus Sang
Maharaja dan TUHAN.
Adakah
pemberian yang kita berikan sebagai wujud penyembahan kepada-Nya merupakan “jubah
ungu dan mahkota mulia?”. Yesus Kristus telah mengenakan kepada kita “jubah
kekudusan” dan “kemuliaan status” sebagai anak-anak TUHAN. Maka sudah seharusnya
anda dan saya memberikan “jubah ungu dan mahkota kemuliaan” kepada-Nya.
Adakah tubuh
kita menjadi “kehormatan dan penyembahan” bagi TUHAN?
Yesus Kristus telah menyerahkan “tubuh-Nya”
untuk disalibkan agar dosa dan kejahatan kita diampuni. Maka sudah seharusnya
anda dan saya mempersembahkan tubuh sebagai ibadah yang kudus dan hidup
kepada-Nya, karena itu adalah ibadah yang sejati.
Kiranya oleh kekayaan kasih karunia TUHAN
setiap kita dimampukan untuk hidup dalam penyembahan yang benar dan bukan
penyembahan yang menjadi olok-olok dan penghinaan kepada Yesus Kristus.
Sumber: Pdt. Dr. Moranda Girsang
Post a Comment for "Anti Klimaks Penyembahan Dalam Gereja"