Translate

Belajar Dari Iman Abraham

Belajar dari iman Abraham ~ Landasan firman Tuhan dari tema tersebut diambil dari surat Ibrani 11. Ibrani pasal 11 adalah satu dari sekian banyak ayat dalam Perjanjian Baru yang sering menjadi dasar orang Kristen mendefinisikan iman. Padahal pengertian mengenai iman merupakan jantung kehidupan Kristen. Kesalahan memahami pengertian iman tentu berakibat sangat fatal.

Banyak orang mengartikan iman di dalam ayat tersebut sebagai keyakinan memperoleh sesuatu. Sebenarnya hal ini sama dengan berpikir positif, padahal berpikir positif bukanlah iman. Dari Ibrani 11:8-18 kita mendapati pergumulan iman Abraham. Pergumulan iman Abraham ini penting sebab Abraham menjadi teladan iman kita.

Dialah Bapa orang percaya, artinya orang percaya harus memiliki jenis dan kualitas iman seperti Abraham. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Dalam ayat ini hendak dikemukakan adanya sesuatu yang diharapkan, yang buktinya adalah iman. Apakah “sesuatu” tersebut? Biasanya orang Kristen mengisinya dengan berbagai hal.


Seolah-olah umat Tuhan bisa “mengimani” (meyakini dengan kuat akan memperolehnya) apa pun yang  dianggapnya sebagai kebutuhan (rumah, mobil, sukses karir, jodoh, kesembuhan, dan lain sebagainya), maka mereka akan memperolehnya secara ajaib. Ini adalah pemikiran yang salah, bahkan menyesatkan. Dengan pola pikir seperti ini, orang Kristen tidak pernah menjadi rohani, dan tidak akan pernah mendahulukan Kerajaan Allah. Pikirannya tertuju kepada perkara-perkara duniawi.

Bila mengamati tokoh-tokoh iman dalam Perjanjian Lama, mereka adalah orang-orang yang hidup dalam kebenaran dan dalam penurutan terhadap kehendak Allah dalam ukuran tertentu. Mereka tidak melangkah untuk ambisi dan keinginan mereka sendiri, tetapi mereka hidup hanya untuk melakukan apa yang diperintahkan Tuhan untuk dilakukan. Mereka adalah orang-orang yang melayani Tuhan.

Sepanjang perjalanan hidupnya, mereka mempersembahkan sepenuh hidup mereka bagi Tuhan. Tentu “segala sesuatu” yang menjadi obyek iman bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah. Pada dasarnya obyek iman mereka adalah Tuhan sendiri, yaitu bagaimana melakukan kehendak-Nya. Segala sesuatu yang menjadi obyek iman mereka pasti segala sesuatu yang sesuai dengan kehendak dan rencana Allah. Untuk ini, marilah kita memperhatikan kehidupan Abraham untuk memperoleh apa yang menjadi obyek iman Abraham.

1.      Abraham taat kepada perintah dan panggilan Tuhan.
Karena iman, Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tuju. Dalam ayat ini kita dapat melihat ketaatan Abraham melakukan apa yang diperintahkan Tuhan tanpa kecurigaan sama sekali. Inilah iman tanpa syarat. Percaya saja, tanpa berbantah. Untuk memahami betapa luar biasa iman Abraham, maka kita harus membawa diri di posisi Abraham pada waktu ia mendapat panggilan untuk keluar dari negerinya. Ia harus meninggalkan kota Ur atau yang sering juga disebut Ur-Kasdim, sebuah kota modern di sekitar sungai Efrat pada zamannya. Kalau dibandingkan dengan zaman sekarang sejajar dengan kota metropolitan. Penjelasan yang paling umum, Ur juga disebut Uri, Tel ell-modern, 14 Km sebelah barat Nasirieh dekat sungai Efrat, Irak.

Dari hasil temuan (1922-1934) di bawah pimpinan Woolley, diperoleh data bahwa negeri tersebut sudah sangat maju pada zamannya. Sejarah dan perekonomian kota itu sangat jelas dari ribuan lempengan dengan tulis ukir dan gedung-gedung yang banyak terdapat di sana. Mereka memiliki dewa yang bernama Nanna. Di sana juga ditemukan reruntuhan menara (ziggurat), kuil yang didirikan oleh Ur-Nam, pendiri Dinasti ketiga Sumer yang sangat jaya mendominasi daerah tersebut.

2.      Berani mengambil langkah iman mengalami janji Tuhan.
Abraham meninggalkan kota Ur-Kasdim tanpa menoleh ke belakang, sebab sampai akhir hayatnya ia tidak pernah kembali ke tanah air leluhurnya di bumi. Keberangkatnya dari Ur-Kasdim untuk menerima negeri yang dijanjikan oleh Elohim, Yahweh adalah perjalanan sebagai musafir. Sejak ia meninggalkan negerinya ia menjadi bangsa nomaden; bangsa pengembaran yang tidak memiliki hunian tetap. Mereka hanya membangun kemah, bukan rumah permanen seperti rumah mereka di Ur-Kasdim. Amin