Kita Mulai Dengan Apa?
Mengapa? Sebab bila Allah benar-benar menjadi "Yang Pertama atau Yang Awal", kita akan mempunyai titik pijak yang kuat dan kokoh. Rute perjalanan hidup kita akan mempunyai titik tuju yang jelas. Di antara kedua titik itu - yaitu titik pijak dan titik tuju - setiap langkah kita akan mempunyai titik orientasi yang pasti. Itulah yang akan terjadi, bila hidup kita dengan setia berpegang pada satu prinsip ini: "Pada mulanya Allah".
Tetapi, bagaimana kenyataannya? Menyedihkan! Sebab walaupun hampir semua orang Kristen mengamini dan menginginkannya, namun, ya cuma begitu. Berhenti pada niat. Sedang untuk maju lebih jauh daripada sekadar "rindu", tidak mampu. Mengapa begitu kontradiksi? Sebab realitas hidup menuntut yang lain: menuntut tindakan-tindakan yang konkret, pragmatis, dan realistis. Bukan cuma gagasan-gagasan yang manis.
Bukan cuma impian-impian yang romantis. Bagi banyak orang, hidup "mulai dengan Allah" itu terlalu abstrak dan terlalu absurd. Tidak realistis. Seolah-olah hidup yang ideal di muka bumi ini ada dan mungkin. Padahal, tidak.
Realitas Allah, bagi banyak orang merupakan sesuatu yang terlalu jauh untuk dapat dijangkau dan terlalu asing untuk dapat dikenal. Ini bahkan tercermin dalam ayat-ayat Alkitab sendiri. Misalnya ayat yang satu ini: "Yang Mahakuasa itu apa, sehingga kami harus beribadah kepada-Nya, dan apa manfaatnya bagi kami, kalau kami memohon kepada-Nya" - Ayub 21:15.
Atau "Dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas kekuasaan yang Mahakuasa? Tingginya seperti langit - apa yang dapat kau lakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati - apa yang dapat kau ketahui?" - Ayub 11:7-8. Sekali lagi soalnya bukanlah soal percaya atau tidak percaya, melainkan apa yang harus dipercayai. Apa konretnya?
Bila Anda berperasaan begitu, wajar bila Anda kecewa, tetapi tak perlu terlalu frustrasi. Tak perlu terlalu dihantui perasaan bersalah. Sebab tokoh-tokoh Alkitab pun tidak luput sepenuhnya dari pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa manfaatnya Allah? Apa yang dapat Ia lakukan untuk kita, dan apa yang dapat kita lakukan untuk Dia? Apakah benar Ia punya rancangan atas kita? Kalau benar, bagaimana mengetahuinya? Dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan serupa itu kemungkinan besar tak akan kunjung terjawab seumur hidup kita. Namun, begitu dengan amat keras Tuhan mengimbau, agar Anda jangan pernah menyerah dan berhenti. Berkatalah begini kepada diri Anda sendiri, "Meskipun mulai dengan Allah itu sangat sulit, tetapi kalau tidak mulai dengan Dia, lalu aku mesti mulai dengan apa? Atau berpijak pada siapa? Dapatkah alternatif itu menjamin keadaan yang lebih baik?"
Pertanyaan tersebut amat krusial. Sebab sekali Anda salah pilih di titik awal, Anda akan semakin melenceng dari tujuan. Sebaliknya, seperti bunyi pepatah, "Awal yang baik menyelesaikan setengah pekerjaan". "Mulai dengan Allah" memang amat sulit. Kadang-kadang sangat sakit. Tetapi tidak mulai dengan Dia, pasti celaka! Hendaknya ini jelas, sejak awal perjalanan kita.