Mewaspadai Bahaya Iri Hati
Mewaspadai
bahaya iri hati ~ "Si
tukang cemburu suka cerita ke sana-sini, mengumbar rasa iri yang kadang dikemas
dengan kepedulian yang palsu”. “Virus” cemburu atau iri hati bisa merasuk semua
kalangan, dari bawahan hingga atasan, status pendidikan tinggi atau rendah,
kalangan kaya atau bukan. Ini lebih menyangkut soal harga diri (self-esteem),
sehat atau tidak.
Suatu hari teman baik saya, seorang Gembala Sidang berbagi cerita saat makan siang pulang dari gereja. Ia mengisahkan beberapa kasus yang menimpa anggota keluarga di jemaatnya, yang membutuhkan penanganan konseling. Dia senang karena saya bisa berkotbah dan memberi seminar sehari di gereja tersebut. Dia juga mengungkapkan keprihatinannya akan sikap salah seorang pimpinan (pusat) di gerejanya, yang secara implisit pernah melarang tokoh jemaat mengundang saya memberi seminar di kalangan gereja mereka.
Lalu saya bertanya, “Menurut Bapak, apa kira-kira alasan atasan Bapak melarang saya bicara di gereja ini?” Jawabnya, “Bagi kami tidak jelas alasannya, karena tidak pernah ungkapkan. Tapi menurut saya, sejak Bapak sering diundang ke lingkungan kami, banyak Gembala semakin tidak tertarik mengundang yang bersangkutan. Mungkin juga ada perasaan iri, cemburu. Begitulah pendapat saya”.
“Lalu, mengapa bapak tetap mengundang saya?" tanya saya menegaskan.
Rekan itu menjawab, “Ah, biar sajalah. Kalau karena iri dia melarang kami mengundang bapak, tidak usah dipikirkan. Apalagi kami sendiri tahu cara hidup beliau”.
Iri hati, adalah perasaan marah bercampur kecewa atas apa yang dimiliki orang lain, yang melebihi kapasitas diri kita. Sementara kita merasa orang tersebut tidak pantas memilikinya. Iri hati laksana penyakit kanker yang merusak, bukan saja hati pemiliknya, tapi juga menyakiti hati orang lain. Seperti virus, iri hati bisa menular pada orang sekitar, sebab biasanya si tukang cemburu tadi suka cerita ke sana-sini mengumbar rasa iri yang kadang dikemas dengan "rasa peduli" yang palsu.
Ciri-ciri iri hati
Kalau hati sudah terinfeksi virus iri atau cemburu maka perasaan kita cenderung tidak nyaman, terutama saat mendengar keberhasilan seseorang yang kita tidak sukai. Misalnya, saat kita mendengar teman sejawat mendapatkan promosi. Kita langsung jengkel bahkan marah. Sebab Anda merasa jauh lebih pantas untuk mendapatkan posisi tersebut daripada teman Anda. Tapi sebaliknya, jika kita mendengar orang itu dipecat atau mengalami kegagalan, hati kita malah merasa senang dan puas.
Suatu hari teman baik saya, seorang Gembala Sidang berbagi cerita saat makan siang pulang dari gereja. Ia mengisahkan beberapa kasus yang menimpa anggota keluarga di jemaatnya, yang membutuhkan penanganan konseling. Dia senang karena saya bisa berkotbah dan memberi seminar sehari di gereja tersebut. Dia juga mengungkapkan keprihatinannya akan sikap salah seorang pimpinan (pusat) di gerejanya, yang secara implisit pernah melarang tokoh jemaat mengundang saya memberi seminar di kalangan gereja mereka.
Lalu saya bertanya, “Menurut Bapak, apa kira-kira alasan atasan Bapak melarang saya bicara di gereja ini?” Jawabnya, “Bagi kami tidak jelas alasannya, karena tidak pernah ungkapkan. Tapi menurut saya, sejak Bapak sering diundang ke lingkungan kami, banyak Gembala semakin tidak tertarik mengundang yang bersangkutan. Mungkin juga ada perasaan iri, cemburu. Begitulah pendapat saya”.
“Lalu, mengapa bapak tetap mengundang saya?" tanya saya menegaskan.
Rekan itu menjawab, “Ah, biar sajalah. Kalau karena iri dia melarang kami mengundang bapak, tidak usah dipikirkan. Apalagi kami sendiri tahu cara hidup beliau”.
Iri hati, adalah perasaan marah bercampur kecewa atas apa yang dimiliki orang lain, yang melebihi kapasitas diri kita. Sementara kita merasa orang tersebut tidak pantas memilikinya. Iri hati laksana penyakit kanker yang merusak, bukan saja hati pemiliknya, tapi juga menyakiti hati orang lain. Seperti virus, iri hati bisa menular pada orang sekitar, sebab biasanya si tukang cemburu tadi suka cerita ke sana-sini mengumbar rasa iri yang kadang dikemas dengan "rasa peduli" yang palsu.
Ciri-ciri iri hati
Kalau hati sudah terinfeksi virus iri atau cemburu maka perasaan kita cenderung tidak nyaman, terutama saat mendengar keberhasilan seseorang yang kita tidak sukai. Misalnya, saat kita mendengar teman sejawat mendapatkan promosi. Kita langsung jengkel bahkan marah. Sebab Anda merasa jauh lebih pantas untuk mendapatkan posisi tersebut daripada teman Anda. Tapi sebaliknya, jika kita mendengar orang itu dipecat atau mengalami kegagalan, hati kita malah merasa senang dan puas.
Iri atau perasaan cemburu membangkitkan keinginan untuk memiliki apa yang orang lain miliki. Kita belum merasa puas sebelum benda, posisi atau seseorang yang kita inginkan, kita dapatkan. Kita gelisah sebelum mendapatkannya.
Misalnya, Anda tidak menyukai tetangga yang kebetulan rekan satu arisan warga. Setiap kali Anda mendengar tetangga tadi membeli satu barang baru, maka Anda ingin membeli barang yang lebih bagus dari yang ia miliki. Perasaan gengsi menguasai Anda lebih daripada kesadaran bahwa Anda sebenarnya tidak membutuhkan (atau membutuhkan) butuh barang tersebut.
Akibat iri hati
Perasaan iri bisa membuat seluruh tubuh tidak nyaman. Bahkan untuk makan dan tidur pun jadi tidak enak. Perasaan cemburu membuat Anda membayangkan wajah orang yang Anda sedang tidak sukai tadi. Pikiran jelek muncul laksana film dengan bayang-bayang ketakutan. Perasaan cemas membayangi saat orang yang Anda tidak sukai ternyata lebih berhasil dari Anda. Semangat persaingan tidak sehat membuat hati pemiliknya tawar dan kecut.
Mari kita membaca ulang kisah Miryam yang iri terhadap saudaranya, Nabi Musa. Dalam cerita Ibrani kuno dikisahkan kepahlawanan Musa. Dia dipakai Tuhan membawa orang Ibrani keluar dari penjajahan menuju Kanaan. Musa dikagumi dan dipuji. Tapi sayang, saudara perempuannya bernama Miryam iri kepada Musa. Ia suka mencari-cari kekurangan Musa dan keluarganya. Ia kemudian menceritakan kekurangan itu kepada orang lain, dengan maksud agar orang lain juga ikut tidak senang terhadap Musa.
Dalam kisah itu diceritakan, Tuhan menghukum Miryam dengan penyakit yang mengerikan. Demikianlah perilaku orang yang iri, cenderung bicara negatif dan suka gosip. Lebih suka mengamati dan memperkatakan kelemahan orang. Tujuannya bukan untuk membangun, tapi menghancurkan. Dia tidak senang melihat orang lain sukses. Dia ingin dirinyalah yang dihargai.
Sumber iri hati
Iri hati bisa bersumber dari pengalaman masa lalu yang buruk, apakah itu pola asuh yang buruk, lingkungan hidup yang buruk dan pengalaman pribadi yang buruk. Hal-hal ini kemudian membangun citra dan harga diri Anda yang buruk. Minder, kata kebanyakan orang. Umumnya jika kita besar dengan kurang kasih sayang, dibeda-bedakan atau punya trauma relasi yang menyakitkan, itu bisa menghempaskan harga diri kita. Inferior.
Iri bisa juga disebakan trauma tertentu terhadap seseorang yang pernah menyakiti hatimu, sehingga kemudian timbul perasaan tidak senang atas orang tersebut. Apalagi saat mendengarkan keberhasilannya.
Pemulihan
Pulih dari sifat iri hati tidaklah mudah, sebab umumnya orang itu tidak menyadari apalagi mengakui perasaan itu. Tapi jika saudara mulai menyadari adanya perasaan ini terhadap seseorang dan Anda sudah merasa terganggu, maka perhatikanlah beberapa saran berikut ini:
1. Menyadari perasaan itu dan mengakuinya. Minimal kepada Tuhan dan seseorang yang Anda percayai. Akan lebih baik (jika memungkinkan) kepada orang tersebut. Carilah bantuan seorang penolong.
2. Belajar memberkati orang yang saudara cemburui. Minta berkat Tuhan atas kehidupannya. Sadarilah bahwa Tuhan berhak menentukan kepada siapa berkat itu diberikan. Takutlah akan Tuhan, bersukacitalah senantiasa sambil mengucapkan syukur selalu. Stop membicarakan kelemahan orang tersebut.
3. Membangun self-intimate, intim dengan diri. Caranya: mengingat, mencatat semua kelebihan, kekuatan dan keistimewaan diri Anda. Kemudian mengembangkannya.
4. Belajar mencukupkan diri dengan apa yang ada. Sadarilah bahwa berkat Tuhan selalu cukup. Serahkanlah keinginan negatif tadi kepada Tuhan, agar dikuduskan dan diganti dengan keinginan baru dan positif.
5. Kreatif membangun karya sendiri, produktif, sehingga akhirnya karya kita dihargai orang lain.
Memulihkan iri hati tidak selalu mudah, apalagi kalau citra dan harga diri kita memang hancur. Perlu waktu dan proses yang panjang.