KRISTEN, IMAN DAN POLITIK
“Politik itu kotor.”
Kesimpulan yang wajar melihat perebutan kekuasaan politik demi kepentingan
pribadi. Tapi perilaku buruk ini bukanlah definisi politik. Politik, dari asal
kata polis (kota; bahasa Yunani), intinya adalah bagaimana mengatur hidup
bersama kita. Dua orang bermain catur saja perlu aturan, apalagi sekelompok
orang dalam komunitas. Untuk menegakkan aturan, dibentuklah otoritas dengan
kewenangan tertentu, seperti wasit dalam pertandingan. Namun tanpa pemain,
pertandingan pun tidak dapat berlangsung.
Pemain dan wasit harus
bekerja sama sesuai aturannya. Jadi, dalam sebuah komunitas, politik merupakan
kenyataan dan tanggungjawab setiap anggotanya. Tetapi memang kekuasaan yang
besar pada otoritas politik ini rawan penyalahgunaan. Lord Acton—politisi
Inggris di abad ke-19— mengingatkan, “kekuasaan cenderung korup.” Maka bagi
orang Kristen, apakah boleh dan perlu terlibat dalam politik? Apa yang dapat
kita pelajari dari Alkitab mengenai tanggungjawab politik?.
Manusia bertanggungjawab
atas sesamanya (Kejadian 4:1-16) Kain membunuh Habel. Dosa tidak hanya merusak
hubungan manusia dengan Tuhan (Kejadian 3), tapi juga dengan sesama manusia.
Setelah pembunuhan Habel, Tuhan bertanya kepada Kain, “Di mana Habel, adikmu
itu?” (ay. 9). Betapa sering manusia mengingkari tanggungjawab ini seperti Kain
yang berkata, “Apakah aku penjaga adikku?” (ay. 9). Lalu, Tuhan menghukum Kain,
tetapi sekaligus menjanjikan keadilan tetap berlaku bagi Kain, karena barangsiapa
membunuh Kain akan dibalas Tuhan “tujuh kali lipat”, yang artinya “setimpal”
(ay. 11-15).
Melalui tindakan-Nya, Tuhan
menunjukkan bahwa manusia harus bertanggungjawab dan adil terhadap sesamanya. Manusia
bertanggungjawab ikut menegakkan keadilan (Kejadian 6-9) Seiring bertambahnya
manusia, bertambah pula kejahatannya. Kali ini Allah menghukum manusia atas
kejahatannya dengan air bah. Setelah air bah surut, Tuhan berfirman kepada Nuh,
“Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia,
sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” (9:6). Kini, Tuhan
memberi tanggungjawab kepada manusia untuk ikut menegakkan keadilan-Nya—sebuah
tanggungjawab politik.
Oleh karena itu,
tanggungjawab politik secara mendasar adalah tanggungjawab setiap manusia terhadap
sesamanya. Dengan dasar ini, bagaimana menempatkan otoritas pemerintah? Kita
lihat uraian Paulus dalam Roma 13. Pemerintah sebagai hamba Allah untuk
menegakkan keadilan (Roma 13:1-7) Kekaisaran Romawi saat itu bukanlah
pemerintahan yang takut akan Allah. Jadi Paulus bukan membela pemerintahan yang
ada, tapi apa yang seharusnya menurut Firman Allah. Paulus menegaskan bahwa
tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah (ay. 1).
Jadi otoritas pemerintah
berasal dari Allah, bukan dari dirinya sendiri atau kekuasaan lain di luar
Allah. Dengan demikian, pemerintahan adalah wilayah yang sah bagi orang Kristen
untuk melayani Tuhan. Lalu Paulus juga mengingatkan, “pemerintah adalah hamba
Allah untuk kebaikanmu” (ay. 4). Karena pemerintah berasal dari Allah, maka
otoritasnya terbatas dan posisinya di bawah Allah. Saat itu kekaisaran Romawi
mengklaim dirinya sebagai allah. Selain itu, pemerintah memiliki tanggungjawab
tertentu. “Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas
mereka yang berbuat jahat.”
Otoritas pemerintah
diberikan untuk menghukum yang berbuat jahat dan memuji yang berbuat baik (ay.
3-4). Menghukum kejahatan bukanlah otoritas pribadi manusia atas sesamanya
(Roma 12:19), tapi otoritas yang Allah berikan kepada pemerintah. Allah akan
menegakkan keadilan, salah satunya melalui pemerintah.
Tanggungjawab
Politik Orang Kristen di Tengah Masyarakat
Dengan demikian, orang
Kristen bertanggungjawab untuk ikut memastikan agar pemerintah melaksanakan
otoritas atau kewenangannya sesuai maksud Allah. Orang Kristen didalam
pemerintahan harus menggunakan otoritasnya untuk menegakkan keadilan. Korupsi
harus diberantas baik dalam masyarakat maupun pemerintahan itu sendiri.
Sedangkan orang Kristen
diluar pemerintahan perlu ikut menegakkan hukum dan keadilan, sekaligus
mengingatkan pemerintah akan tanggungjawabnya. Hal ini termasuk memilih wakil
rakyat dan kepala pemerintahan yang dapat memperjuangkan keadilan dan
kesejahteraan rakyat. Masyarakat harus belajar menjadi warganegara yang
bertanggungjawab. Maka, orang Kristen perlu mengajak masyarakat memahami hak
dan tanggungjawab warganegara, misalnya melalui pendidikan di sekolah, gereja,
atau menyuarakan pendapat lewat surat kabar dan radio.
Diskusi Warga oleh Institut
Leimena merupakan salah satu sarana pendidikan untuk ini. Tanggungjawab politik
tidak terbatas dalam lingkup pemerintah saja. Orang Kristen harus berlaku adil
dalam setiap hubungan dengan sesama manusia. Keadilan ini perlu dilakukan dan
diajarkan dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, gereja, hingga masyarakat
luas. Misalnya, bagaimana menjadi ayah yang adil terhadap istri dan anaknya,
guru yang memberi teladan bagi muridnya, pengusaha yang adil terhadap
pekerjanya.
Gereja harus menjadi nurani
keadilan dalam masyarakat. Menjadi garam yang mencegah pembusukan dan terang
yang menunjukkan jalan kebenaran. Menegakkan keadilan tidak mudah. Tak heran
banyak mengambil jalan pintas dengan korupsi demi kemakmuran. Wajarlah orang
Kristen bertanya-tanya, kalau saya sepenuhnya menegakkan kebenaran dan keadilan
ini, bagaimana masa depan saya dan keluarga? Apa nantinya yang akan saya makan,
minum, dan pakai? Dalam Perjanjian Baru, kata asli yang dipakai untuk
“kebenaran” juga berarti “keadilan”. Maka ketika kita dirudung kekhawatiran
itu, ingatlah perintah dan janji Tuhan Yesus, “carilah dahulu Kerajaan Allah
dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Matius 6:33).
Janganlah kita melepas tanggungjawab atas sesama manusia seperti Kain, sambil
berkata “Apakah aku penjaga sesamaku?” Baca juga artikel ini: Belajar Dari Yesus Ketika Menghadapi Viadolorosa.
Post a Comment for "KRISTEN, IMAN DAN POLITIK"