Makna Allah Menaruh Kekekalan dalam Hati Kita - Renungan Berdasarkan Pengkhotbah 3:11
Makna
Allah Menaruh Kekekalan dalam Hati Kita - Renungan Berdasarkan Pengkhotbah 3:11 ~ Demikian sabda Tuhan. “Ia membuat
segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati
mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah
dari awal sampai akhir”.
Mengapa Hati Kita Tak Pernah Sepenuhnya Puas?
Pernahkah kamu merasa ada sesuatu yang kurang dalam hidup, bahkan saat semua terlihat sempurna? Gaji cukup, keluarga sehat, pekerjaan stabil—tapi tetap terasa hampa. Itu bukan karena kamu tidak bersyukur. Justru itu adalah bukti paling kuat bahwa kamu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar: kekekalan dan memberi makna kekekalan.
Kitab Pengkhotbah menyampaikan kebenaran mendalam: Allah menaruh kekekalan dalam hati manusia. Bukan sekadar perasaan, tapi semacam kode surgawi dalam jiwa kita. Kita akan bahas tuntas makna kalimat ini dari tiga dimensi: asal kekekalan, keterbatasan manusia, dan respons kita terhadapnya.
1.
Kekekalan Itu Ditanamkan, Bukan Diciptakan Oleh Manusia.
Frasa “Allah memberikan kekekalan dalam hati mereka” menegaskan satu hal: kerinduan akan keabadian bukan buatan manusia, tetapi adalah pemberian Allah. Dalam bahasa Ibrani, kata olam (עֹולָם) berarti durasi yang tak terbatas, melampaui waktu.
Kita rindu makna yang kekal karena Allah yang kekal menciptakan kita demikian. Inilah sebabnya kenapa pencapaian duniawi tak pernah bisa memberi kepuasan sejati. Harta, prestasi, dan popularitas hanya memuaskan sesaat. Tapi jiwa manusia akan selalu haus akan sesuatu yang abadi.
John Stott menegaskan bahwa, “Kekekalan dalam hati manusia adalah sidik jari Allah. Itu bukan ilusi psikologis, tapi realita teologis.” (John Stott, Understanding the Bible, IVP, 2011, hlm. 79)
Kita tidak bisa menghilangkan kerinduan itu. Bahkan ateis sekalipun diam-diam bergumul dengan pertanyaan besar: “Apakah ini semua berakhir setelah mati?” Kekekalan dalam hati adalah seperti GPS spiritual—yang terus menunjukkan arah pulang kepada Allah.
2. Kita Tidak Bisa Menyelami Sepenuhnya, Tapi
Kita Bisa Mempercayai.
Setelah menyatakan bahwa Allah menaruh kekekalan, penulis Pengkhotbah langsung menambahkan bahwa manusia tidak dapat menyelami pekerjaan Allah dari awal sampai akhir. Di sini kita melihat paradoks: kita diberi rasa ingin tahu yang dalam, namun dibatasi dalam pemahaman.
Banyak orang frustrasi karena ingin mengerti segalanya tentang hidup, waktu, penderitaan, dan masa depan. Tapi, kenyataannya, hidup ini penuh dengan misteri. Bahkan iman Kristen pun tak memberi jawaban matematis untuk segala sesuatu. Tapi justru di sanalah iman lahir dan tumbuh.
Timothy Keller menegaskan bahwa, “Allah tidak memanggil kita untuk memahami-Nya sepenuhnya, tapi untuk mempercayai-Nya sepenuhnya.” (Timothy Keller, Walking with God through Pain and Suffering, Penguin, 2013, hlm. 127).
Allah tahu apa yang sedang Ia lakukan. Saat kita tidak bisa memahami, kita diajak untuk percaya. Kekekalan dalam hati bukan hanya tentang “tahu” tetapi tentang “percaya dan berharap”. Kita tidak berjalan dengan peta lengkap, tapi kita berjalan dengan kompas surgawi yang selalu mengarah pada Tuhan.
3. Hidup di Dunia Ini Bernilai Kekal.
Bagian terakhir dari renungan ini sangat penting: kekekalan dalam hati bukan hanya soal surga nanti, tetapi tentang bagaimana kita menjalani hidup sekarang. Banyak orang berpikir kekekalan itu hanya tentang “nanti di akhirat”, padahal firman Tuhan menunjukkan bahwa kekekalan berdampak langsung pada cara kita bekerja, mengasihi, dan hidup hari ini. Rasul Paulus menulis firman Tuhan,“Giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” (1 Korintus 15:58).
Ketika kamu melayani di gereja, mengasihi orang yang sulit dikasihi, mendidik anak dalam kebenaran, menolong sesama—semua itu punya nilai kekekalan. Kekekalan bukan nanti. Kekekalan dimulai dari sekarang, ketika hidup kita terkoneksi dengan kehendak Tuhan.
Dallas Willard menegaskan bahwa, “Orang Kristen tidak menunggu kekekalan. Mereka sudah hidup dalam kekekalan sejak mereka percaya.” (Dallas Willard, The Divine Conspiracy, HarperOne, 2010, hlm. 391).
Jadi jangan remehkan keputusan harianmu. Jangan anggap sepele tindakan kecil yang dilakukan dalam kasih. Setiap pilihan untuk mengampuni, melayani, dan mempercayai Tuhan adalah jejak kekal yang kamu tinggalkan di dunia.
Penutup: Kekekalan adalah Undangan, Bukan
Beban
Apa
yang bisa kita simpulkan dari semua ini?
Allah
menaruh kekekalan dalam hati kita bukan agar kita terbebani, tetapi agar kita diarahkan.
Kekekalan itu adalah magnet ilahi, yang menarik hati kita untuk terus
mencari-Nya. Bahkan saat kita bingung, kecewa, atau kehilangan
harapan—kerinduan itu tetap hidup.
Yesus datang ke dunia justru untuk memenuhi kerinduan akan kekekalan itu. Dialah “jalan, kebenaran, dan hidup”—yang membawa kita kepada Bapa. Melalui Kristus, kekekalan bukan lagi sesuatu yang samar, tapi menjadi warisan yang pasti.
Post a Comment for "Makna Allah Menaruh Kekekalan dalam Hati Kita - Renungan Berdasarkan Pengkhotbah 3:11"