Bersukacita Dalam Pelayanan - Khotbah Kristen
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bersukacita Dalam Pelayanan

Bersukacita Dalam Pelayanan. Landasan firman Tuhan untuk tema bersukacitalah dalam pelayanan, diambil dari surat rasul Paulus kepada jemaat di kota Roma. Demikianlah sabda tuhan. “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan” Roma 12 ayat 11.

Di sebuah sudut kota yang sibuk, seorang pria bernama Dion sedang duduk termenung setelah selesai memimpin ibadah doa. Sudah hampir lima belas tahun ia aktif melayani di gereja lokal. Namun malam itu, ia merasa kosong. Ia mulai bertanya-tanya dalam hatinya: “Apakah aku masih melayani dengan semangat seperti dulu? Apakah sukacita itu masih ada?”

Pertanyaan itu menusuk jiwanya. Bukan karena pelayanan itu tidak penting, tetapi karena hatinya mulai kehilangan api. Ia sadar, pelayanan yang awalnya ia lakukan dengan gairah dan kasih kepada Tuhan, perlahan berubah menjadi rutinitas. Ia melayani karena harus, bukan karena ingin. Di saat itulah ia membuka Alkitab dan membaca Roma 12 ayat 11, “Janganlah hendakmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” Ayat itu menamparnya dengan lembut namun kuat. Ia tersadar, sukacita dalam pelayanan bukanlah hasil dari kenyamanan atau tepuk tangan manusia, tetapi hasil dari relasi yang menyala dengan Tuhan.

Ayat ini, meskipun pendek, mengandung kekuatan luar biasa. Di dalamnya terkandung tiga dimensi pelayanan Kristen yang sejati: ketekunan tanpa kendor, semangat roh yang menyala, dan fokus kepada Tuhan sebagai pusat pelayanan. Paulus menulis surat ini kepada jemaat di Roma, sebuah komunitas Kristen awal yang hidup di tengah tekanan dan penganiayaan.

Dalam konteks seperti itu, Paulus tidak memberi mereka motivasi kosong, melainkan kebenaran yang membebaskan: bahwa pelayanan bukanlah beban, tetapi kehormatan; bukan paksaan, tetapi kesempatan untuk menyatakan kasih Allah kepada dunia.

Kata “janganlah hendakmu kendor” merupakan peringatan yang sangat relevan, bahkan sampai hari ini.

Banyak orang Kristen mengalami keletihan dalam pelayanan bukan karena beban tugas, tetapi karena kelelahan rohani. Ketika doa mulai jarang dipanjatkan, ketika Alkitab menjadi sekadar simbol dan bukan makanan rohani, ketika komunitas menjadi tempat drama dan bukan dukungan, maka api pelayanan akan pelan-pelan meredup. Paulus tidak ingin hal itu terjadi. Ia mengingatkan bahwa semangat dalam pelayanan bukanlah sesuatu yang terjadi secara otomatis. Semangat itu perlu dipelihara, dijaga, bahkan diperjuangkan.

Kata “kendor” dalam teks aslinya mengandung arti malas atau lamban. Ini bukan bicara soal fisik saja, tetapi lebih pada sikap hati. Orang bisa terlihat sibuk melayani, tetapi hatinya sudah lama berhenti terbakar untuk Tuhan. Pelayanan yang seperti ini berbahaya, karena bisa menular. Pelayanan yang dilakukan tanpa semangat akan menularkan ketidakpedulian. Sebaliknya, pelayanan yang dilakukan dengan hati yang menyala bisa menjadi pemantik bagi yang lain.

Di sisi lain, Paulus mendorong agar “rohmu menyala-nyala”. Frasa ini sangat kuat secara bahasa dan teologis. Ia menggunakan kata dalam bahasa Yunani yang menggambarkan “mendidih” atau “berapi-api”. Paulus sedang bicara tentang semangat rohani yang lahir dari dalam, bukan dari suasana ibadah yang emosional belaka. Semangat ini bukan hasil pengaruh eksternal, tetapi dari relasi yang hidup dengan Roh Kudus. Pelayanan yang menyala bukan berarti selalu riuh atau penuh ekspresi, tetapi selalu setia, bergairah, dan penuh kasih yang nyata.

Semangat rohani tidak mungkin dipertahankan jika kita terputus dari sumbernya. Roh Kudus adalah sumber nyala pelayanan kita. Tanpa Dia, pelayanan hanyalah kegiatan sosial belaka. Maka, seperti seorang pembakar api yang tahu kapan harus menambahkan kayu ke tungku agar api terus hidup, kita pun perlu mengisi hati kita dengan doa, firman, penyembahan, dan keintiman dengan Tuhan.

Ketika kita membiarkan Tuhan berbicara kepada kita setiap hari, maka api itu tidak akan padam. Ketika pelayanan kita lahir dari relasi dan bukan ambisi, maka kita tidak akan mudah goyah meskipun badai datang.

Paulus menutup ayat ini dengan seruan yang sangat penting: “layanilah Tuhan.” Inilah kunci utama dari semua pelayanan Kristen. Fokus pelayanan kita bukan untuk manusia, bukan demi pengakuan, bukan karena ingin terlihat rohani. Kita melayani karena Tuhan terlebih dahulu mengasihi kita. Pelayanan adalah bentuk penyembahan. Pelayanan adalah respons syukur. Ketika fokus kita bergeser kepada hasil, penghargaan, atau bahkan jumlah, maka sukacita akan mudah lenyap. Tetapi ketika kita sadar bahwa kita sedang melayani Raja segala raja, maka sekecil apapun yang kita lakukan akan terasa bermakna.

Melayani Tuhan berarti kita sadar bahwa semua yang kita kerjakan, sekecil apapun itu—menyapu gereja, menyambut jemaat, menyanyi, mengajar sekolah minggu, bahkan hanya mendoakan seseorang secara pribadi—semua itu adalah bagian dari ibadah yang hidup. Kita sedang mempersembahkan diri kita kepada Tuhan, seperti yang disebutkan Paulus dalam Roma 12 ayat1. Dalam dunia yang mengukur kesuksesan dengan angka dan pujian, ayat ini memutar ulang fokus kita: apakah kita melayani karena kita mencintai Tuhan, atau karena ingin mendapat tempat di mata manusia?

Sukacita dalam pelayanan tidak lahir dari kondisi yang nyaman, melainkan dari hati yang diselaraskan dengan kehendak Tuhan. Seorang pelayan Tuhan yang setia pernah berkata, “Saya tidak selalu berada dalam pelayanan yang mudah, tetapi saya selalu menemukan Tuhan di setiap pelayanan.” Kalimat ini sederhana, tapi dalam. Sebab sukacita bukanlah suasana hati, tetapi buah dari kedekatan dengan Tuhan. Seseorang bisa berada di tengah penderitaan, namun tetap bersukacita dalam pelayanannya. Itulah keajaiban sukacita ilahi—sukacita yang tidak tergantung keadaan.

Kita bisa belajar dari banyak tokoh Alkitab maupun sejarah gereja yang menunjukkan bahwa pelayanan penuh sukacita tidak tergantung pada hasil atau kenyamanan. Paulus sendiri, saat menulis surat ini, sedang berada dalam tekanan. Namun semangatnya tidak pernah pudar. Dia tahu untuk siapa dia hidup. Begitu pula dengan tokoh-tokoh seperti Hudson Taylor, Corrie ten Boom, atau Billy Graham—mereka semua mengalami tantangan, bahkan penderitaan, namun tetap bersukacita karena mereka tahu siapa yang mereka layani.

Ada saat-saat ketika pelayanan terasa berat. Tidak semua orang akan menghargai apa yang kita lakukan. Bahkan kadang-kadang, sesama pelayan bisa menjadi sumber luka. Namun di sinilah ujian sejati dari sukacita dalam pelayanan. Jika kita hanya bersukacita ketika semuanya lancar, maka sukacita kita masih dangkal. Tetapi jika kita tetap menyala bahkan saat jalan menjadi berat, maka kita telah memahami makna sejati dari pelayanan yang berpusat pada Kristus.

Satu hal yang membantu menjaga sukacita dalam pelayanan adalah dengan terus mengingat kembali panggilan awal kita. Apa yang pertama kali membuat kita melayani? Apakah cinta kepada Tuhan? Apakah beban terhadap jiwa-jiwa? Apakah rasa syukur karena anugerah keselamatan? Ketika kita kembali ke akar panggilan itu, kita akan menemukan nyala yang sempat padam. Kita perlu sering “menghidupkan kembali karunia Allah” seperti yang dikatakan Paulus kepada Timotius (2 Timotius 1 ayat 6). Api itu harus terus dibangkitkan. Bukan oleh orang lain, tetapi oleh kita sendiri bersama dengan Roh Kudus.

Selain itu, kita juga perlu dikelilingi oleh komunitas yang sehat. Pelayanan yang dijalankan sendirian mudah membuat kita letih. Tetapi pelayanan dalam komunitas yang saling mendukung akan membuat sukacita bertambah. Dalam komunitas, kita bisa saling menguatkan, saling berbagi beban, dan saling menyalakan api semangat. Jangan biarkan diri kita menjadi arang yang dipisahkan dari bara—karena ia akan cepat padam. Namun jika kita terus bersama dalam tubuh Kristus, api pelayanan kita akan terus menyala.

Melayani Tuhan adalah panggilan seumur hidup, bukan sekadar tugas sementara. Ini bukan tentang posisi, tapi tentang disposisi hati. Tuhan tidak mencari pelayan yang sempurna, tetapi yang setia dan menyala karena kasih. Dalam setiap pelayanan yang kita lakukan, biarlah kita terus mengingat bahwa kita sedang menjadi bagian dari karya besar Allah yang kekal. Tidak ada pelayanan yang terlalu kecil bagi Tuhan. Dan tidak ada pelayan yang tak dikenal oleh-Nya.

Ketika hati kita mulai letih, ketika sukacita mulai pudar, jangan menyerah. Datanglah kembali kepada Tuhan. Biarlah firman-Nya menguatkan, doa kita memperbaharui, dan kehadiran-Nya membakar kembali api yang mulai redup. Dalam setiap pelayanan—yang besar maupun kecil—biarlah kita mengingat bahwa kita melayani karena kita dikasihi. Dan karena kasih itu, kita pun bersukacita dalam melayani.

Mari kita berdoa, Tuhan yang penuh kasih, aku bersyukur atas kehormatan melayani Engkau. Bila hatiku mulai kendor dan apiku meredup, bakarlah kembali semangatku dengan kasih-Mu. Tolong aku agar tetap bersukacita dalam pelayanan, bukan karena situasi, tapi karena Engkau, satu-satunya alasan dan tujuan hidupku. Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa. Amin.

Post a Comment for "Bersukacita Dalam Pelayanan"