Pendeta Yang Oportunis: Mengabaikan Kebenaran Untuk Menghindari Konflik Part 5
Pendeta yang Oportunis: Mengabaikan Kebenaran untuk Menghindari Konflik ~ Seorang pendeta seharusnya menjadi gembala bagi umatnya, memimpin mereka dalam kebenaran dan keadilan. Namun, ada fenomena yang mengkhawatirkan di mana beberapa pendeta menjadi oportunis, lebih memilih untuk menghindari konflik daripada menyuarakan kebenaran. Dalam upayanya untuk menjaga kedamaian dan kenyamanan pribadi, mereka justru mengabaikan panggilan untuk menyampaikan firman Tuhan yang sebenarnya. Tulisan ini akan membahas tentang bahaya sikap oportunis ini, serta pandangan Alkitab mengenai pentingnya menyampaikan kebenaran, meskipun itu berisiko menimbulkan konflik.
1. Definisi dan Karakteristik Pendeta Oportunis.
Pendeta oportunis adalah mereka yang lebih memprioritaskan kedamaian sementara daripada kebenaran kekal. Mereka cenderung menghindari topik-topik yang kontroversial atau tidak populer di kalangan jemaatnya, karena takut kehilangan dukungan atau menimbulkan ketidaknyamanan.
Pendeta seperti ini mungkin memilih untuk tidak menegur dosa secara langsung atau bahkan memberikan pengajaran yang menyesatkan, hanya demi mempertahankan posisi dan popularitasnya.
Karakteristik
pendeta oportunis meliputi:
-
Menghindari pengajaran yang berpotensi menimbulkan konflik atau
ketidaknyamanan.
-
Berfokus pada hal-hal yang menyenangkan hati jemaat, daripada menyampaikan
seluruh kebenaran firman Tuhan.
- Mengutamakan kepentingan pribadi, seperti menjaga reputasi atau keuntungan material, di atas panggilan untuk mengembalakan umat dalam kebenaran.
2. Bahaya Mengabaikan Kebenaran.
Mengabaikan kebenaran demi menghindari konflik memiliki dampak yang sangat merugikan, baik bagi jemaat maupun pendeta itu sendiri. Ketika seorang pendeta tidak menyampaikan kebenaran firman Tuhan dengan penuh, jemaatnya tidak akan mendapatkan pemahaman yang utuh tentang kehendak Allah. Hal ini dapat menyebabkan jemaat hidup dalam dosa tanpa merasa perlu bertobat, karena mereka tidak diajar untuk memahami kesalahan mereka.
Bahaya lainnya adalah bahwa sikap ini dapat merusak integritas seorang pendeta. Pendeta yang mengabaikan kebenaran untuk menghindari konflik pada akhirnya akan kehilangan otoritas moral dan spiritualnya. Ketika jemaat menyadari bahwa pendetanya tidak berani menyuarakan kebenaran, mereka mungkin akan kehilangan rasa hormat dan kepercayaan terhadap pemimpin rohani mereka.
3. Perspektif Alkitabiah tentang Kebenaran dan
Konflik.
Alkitab secara jelas mengajarkan bahwa kebenaran harus disampaikan, walaupun itu mungkin menimbulkan konflik. Yesus sendiri berkata dalam Matius 10:34-36, “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa menyuarakan kebenaran sering kali akan memisahkan orang dan menimbulkan konflik. Namun, konflik ini bukan tanpa tujuan; melainkan, itu adalah bagian dari proses pemurnian dan pengajaran yang membawa orang pada pertobatan dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehendak Allah.
Dalam Efesus 4:15, Paulus menasihati jemaat di Efesus, “Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Ayat ini menekankan pentingnya menyampaikan kebenaran dalam kasih. Ini berarti, meskipun kebenaran itu mungkin menyakitkan atau menimbulkan konflik, itu harus disampaikan dengan motivasi kasih dan tujuan membangun jemaat.
4. Contoh dari Alkitab: Nabi-Nabi yang Berani
Menyuarakan Kebenaran.
Alkitab memberikan banyak contoh tentang nabi-nabi yang berani menyuarakan kebenaran, meskipun itu menempatkan mereka dalam bahaya. Nabi Natan, misalnya, tidak ragu menegur Raja Daud ketika dia berdosa dengan Batsyeba (2 Samuel 12:1-15). Natan bisa saja memilih untuk diam demi menghindari kemarahan raja, tetapi dia memilih untuk menyampaikan kebenaran firman Tuhan.
Contoh lainnya adalah Nabi Yeremia, yang terus-menerus dipenjara dan dianiaya karena menyuarakan kebenaran yang tidak ingin didengar oleh umat Israel pada zamannya. Yeremia tidak tergoda untuk menyampaikan pesan yang menyenangkan hati pendengarnya, tetapi dia setia menyampaikan apa yang Tuhan perintahkan, walaupun itu berarti dia harus menderita.
5. Panggilan untuk Setia pada Kebenaran.
Pendeta dipanggil untuk menjadi hamba yang setia, menyampaikan seluruh kebenaran firman Tuhan tanpa kompromi. 2 Timotius 4:2 mengingatkan kita, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.”
Ayat ini menekankan pentingnya untuk selalu siap menyampaikan firman Tuhan, terlepas dari situasi dan tantangan yang dihadapi. Tidak ada tempat bagi sikap oportunis dalam pelayanan seorang pendeta. Setiap pendeta harus ingat bahwa dia akan memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan atas bagaimana dia mengembalakan jemaat yang dipercayakan kepadanya.
Pendeta
yang oportunis adalah mereka yang memilih untuk mengabaikan kebenaran demi
menghindari konflik. Sikap ini sangat berbahaya, baik bagi jemaat maupun bagi
integritas pendeta itu sendiri. Alkitab dengan jelas mengajarkan pentingnya
menyampaikan kebenaran, meskipun itu mungkin menimbulkan konflik. Oleh karena
itu, setiap pendeta dipanggil untuk setia pada panggilannya, menyampaikan
firman Tuhan dengan setia dan tanpa kompromi, demi kepentingan jemaat dan untuk
kemuliaan Tuhan.
Post a Comment for "Pendeta Yang Oportunis: Mengabaikan Kebenaran Untuk Menghindari Konflik Part 5"