Tito Sebut Aksi 212 Picu Gerakan Menentang Kebinekaan
Tito
sebut aksi 212 picu gerakan menentang kebinekaan ~ Jakarta, CNN
Indonesia --
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menyebut Aksi 212 yang digelar pada 2
Desember lalu melahirkan gerakan yang bertentangan dengan prinsip kebinekaan.
Banyak gerakan muncul untuk menggerus budaya masyarakat Islam di Indonesia.
Penegakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi dalihnya.
“Hal yang menjadi atensi bagi kepolisian dari Aksi 212, meski aman tapi membuka wacana baru dari beberapa (kelompok) Islam, tergerusnya mainstream Islam, meningkatnya transnasional yang kurang pas dengan situasi kebinekaan”, kata Tito dalam sebuah diskusi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Selasa (17/1).
“Hal yang menjadi atensi bagi kepolisian dari Aksi 212, meski aman tapi membuka wacana baru dari beberapa (kelompok) Islam, tergerusnya mainstream Islam, meningkatnya transnasional yang kurang pas dengan situasi kebinekaan”, kata Tito dalam sebuah diskusi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Selasa (17/1).
Ia menyampaikan,
fatwa MUI bukan sesuatu yang harus dihindari. Namun sejak Aksi 212, sejumlah
fatwa yang dikeluarkan oleh Lembaga yang dibentuk pada masa Orde Baru itu
berimplikasi luas sehingga menimbulkan gangguan keamanan serta ketertiban
masyarakat.
Ia mengambil contoh, fatwa MUI terkait Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurutnya, fatwa yang menyatakan bahwa Ahok telah menistakan Alquran dan ulama itu telah menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Fatwa itu juga melahirkan gerakan dari segelintir umat Islam yang menamakan kelompoknya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Tito menambahkan, fatwa MUI kembali mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat jelang perayaan Natal 2016. Lembaga pimpinan Ma'ruf Amin itu mengeluarkan fatwa yang melarang umat Islam menggunakan atribut Natal.
Fatwa itu kemudian direspons dengan berbagai cara, mulai dari sosialisasi di pusat perbelanjaan hingga tindakan kriminal seperti perusakan pohon Natal disertai penganiayaan.
Menurut Tito, berbagai peristiwa ini menunjukkan, fatwa yang dikeluarkan oleh MUI berpotensi mengancam keberagaman dan kebinekaan Indonesia.
“Mobilisasi dan opini terbentuk dengan adanya sikap keagamaan MUI menjadi semacam keputusan domain hukum positif Indonesia yakni KUHP pasal 156 a. Ini menarik di mana sikap keagaman membuat masyarakat termobilisasi seperti Aksi 411 dan Aksi 212 yang cukup banyak terpengaruhi sikap MUI”, ujar Tito.
Meski demikian, ia memahami, MUI merupakan lembaga penting dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun menurutnya, polisi mengalami kegamangan dalam menyikapi fatwa MUI.
Menurutnya, ada sikap yang beragam di lingkungan kepolisian dalam menyikapi fatwa MUI. Polri masih bingung untuk menyikapi berbagai pelanggaran hukum yang mengatasnamakan agama.
“Tidak melakukan kekerasan, hanya sosialisasi, tapi itu menimbulkan kesan ketakutan di publik. Bagaimana kepolisian menyikapi itu, ini juga menjadi pertanyaan bagi kita”, katanya.
Menjawab Persoalan
Di tempat yang sama, Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin menyampaikan, setiap fatwa yang mereka keluarkan, bertujuan untuk menjawab setiap masalah umat Islam yang tidak tercantum dalam Alquran dan Hadis. Ma'ruf mengklaim, MUI adalah representasi dari umat Islam di Indonesia.
Fatwa MUI, menurut Ma'ruf, mengikat secara syariah kepada seluruh umat Islam di Indonesia. Namun, ia menegaskan, fatwa bukan hukum positif yang memberikan legitimasi bagi masyarakat sipil untuk melakukan langkah hukum.
“Fatwa itu apabila dikeluarkan oleh lembaga kredibel dan mempunyai otoritas, itu syar'i, itu mengikat kepada setiap muslim. Di Indonesia, yang bisa dieksekusi itu kalau dijadikan hukum positif”, ucap Ma'ruf. (pmg/asa)
Ia mengambil contoh, fatwa MUI terkait Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Menurutnya, fatwa yang menyatakan bahwa Ahok telah menistakan Alquran dan ulama itu telah menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Fatwa itu juga melahirkan gerakan dari segelintir umat Islam yang menamakan kelompoknya Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Tito menambahkan, fatwa MUI kembali mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat jelang perayaan Natal 2016. Lembaga pimpinan Ma'ruf Amin itu mengeluarkan fatwa yang melarang umat Islam menggunakan atribut Natal.
Fatwa itu kemudian direspons dengan berbagai cara, mulai dari sosialisasi di pusat perbelanjaan hingga tindakan kriminal seperti perusakan pohon Natal disertai penganiayaan.
Menurut Tito, berbagai peristiwa ini menunjukkan, fatwa yang dikeluarkan oleh MUI berpotensi mengancam keberagaman dan kebinekaan Indonesia.
“Mobilisasi dan opini terbentuk dengan adanya sikap keagamaan MUI menjadi semacam keputusan domain hukum positif Indonesia yakni KUHP pasal 156 a. Ini menarik di mana sikap keagaman membuat masyarakat termobilisasi seperti Aksi 411 dan Aksi 212 yang cukup banyak terpengaruhi sikap MUI”, ujar Tito.
Meski demikian, ia memahami, MUI merupakan lembaga penting dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Namun menurutnya, polisi mengalami kegamangan dalam menyikapi fatwa MUI.
Menurutnya, ada sikap yang beragam di lingkungan kepolisian dalam menyikapi fatwa MUI. Polri masih bingung untuk menyikapi berbagai pelanggaran hukum yang mengatasnamakan agama.
“Tidak melakukan kekerasan, hanya sosialisasi, tapi itu menimbulkan kesan ketakutan di publik. Bagaimana kepolisian menyikapi itu, ini juga menjadi pertanyaan bagi kita”, katanya.
Menjawab Persoalan
Di tempat yang sama, Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin menyampaikan, setiap fatwa yang mereka keluarkan, bertujuan untuk menjawab setiap masalah umat Islam yang tidak tercantum dalam Alquran dan Hadis. Ma'ruf mengklaim, MUI adalah representasi dari umat Islam di Indonesia.
Fatwa MUI, menurut Ma'ruf, mengikat secara syariah kepada seluruh umat Islam di Indonesia. Namun, ia menegaskan, fatwa bukan hukum positif yang memberikan legitimasi bagi masyarakat sipil untuk melakukan langkah hukum.
“Fatwa itu apabila dikeluarkan oleh lembaga kredibel dan mempunyai otoritas, itu syar'i, itu mengikat kepada setiap muslim. Di Indonesia, yang bisa dieksekusi itu kalau dijadikan hukum positif”, ucap Ma'ruf. (pmg/asa)
Post a Comment for "Tito Sebut Aksi 212 Picu Gerakan Menentang Kebinekaan"