Berkat Di Balik Bencana
Berkat di balik bencana ~ Landasan firman Tuhan untuk tema tersebut diambil dari kitab Ayub, yaitu Ayub 2:10: "Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engka berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?".
Berdasarkan firman Tuhan di atas, maka kita bisa menemukan bahwa sesungguhnya kita selalu dihadapkan dengan dua hal, yaitu: Satu, hal-hal yang baik, menyenangkan, menguatkan dan segalanya berjalan dengan normal. Dua, hal-hal yang buruk, tidak menyenangkan, menyakitkan dan segalanya berjalan dengan tidak normal.
Pada umumnya, manusia selalu inginkan supaya hal-hal yang baik, yang menyenangkan, yang menguntungkan dan segalanya berjalan sesuai dengan keinginannya. Cara pikir dan cara pandang demikian, di wakili oleh istri Ayub. Memang begitulah faktanya di dalam hidup kita. Tetapi, kita juga harus memahami bahwa tidak semua berjalan sesuai dengan keinginan kita. Itulah yang dipahami oleh Ayub, sehingga bagi Ayub normalnya ialah kita harus menerima keduanya. Mengapa demikian? Karena Ayub tahu bahwa segala sesuatu ada di dalam kedaulatan, otoritas dan kekuasaan Tuhan.
Tidak banyak dari antara kita yang mengalami goncangan hidup yang berat seperti Ayub. Bencana yang secara beruntun menimpa Ayub, memang itu musibah yang tidak bisa ditolak. Harta kekayaan yang sudah diusahakan habis dalam sekejap. Anak-anak yang menjadi tumpuan sebagai penerus keturunan meninggal semuanya dalam waktu yang sama. Kesehatannya pun merosot karena penyakit ganas yang menimpa dirinya, sehingga dari kepala sampai ujung kakinya busuk semuanya.
Bencana memang musibah, tetapi di balik musibah atau bencana itu Tuhan menyediakan berkat terbaik untuk orang-orang yang percaya, setia dan mengasihi-Nya. Ayub juga mengalami bencana yang begitu beruntun menimpanya. Tetapi Tuhan mengembalikkan berkat luar biasa ketika Ayub percaya dan setia kepada Tuhan.
Dari hidup dan pergumulan serta bencana yang menimpa Ayub, kita dapat belajar bagaimana seharusnya kita memberi tanggapan atau respon terhadap bencana atau musibah yang menimpa kehidupan kita. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil bagi kehidupan kita pada masa kini, yaitu:
1. Ayub bergumul dan tetap mengandalkan Tuhan.
Bencana atau musibah acap kali membuat banyak orang menjadi lemah dan putus asa. Bahkan musibah atau bencana yang terjadi atau menimpa kita sering dihubungkan dengan dosa oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Itulah yang terjadi dengan Ayub. Sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa bagaimana mungkin orang yang saleh, jujur, menjauhi kejahatan dan terpandang seperti Ayub bisa menderita kalau ia tidak melakukan kejahatan di hadapan Tuhan.
Karena bagi sahabat-sahabat Ayub, mustahil Allah menjatuhkan hukuman kepadanya jika ia baik-baik saja dan tidak melakukan kesalahan. Ayub tetap bergumul dan terus mencari tahu apa sesungguhnya penyebab musibah yang menimpa dirinya. Ia tidak melawan semua logika teologi yang disampaikan oleh sahabat-sahabatnya. Lebih dari pada itu Ayub tetap mengandalkan Tuhan dan terus mendekatkan diri kepada Tuhan serta setia menantikan Tuhan melakukan sesuatu dan memberikan pertolongan yang dia butuhkan.
Acap kali kita juga mengalami hal yang sama seperti dialami oleh Ayub. Mungkin Anda yang membaca tulisan ini sedang mengalami keadaan yang buruk dan sukar dalam hidupmu. Namun, jangan pernah mudur, menyerah dan putus asa. Teruslah bergumul dengan Tuhan dan tetap andalkan Tuhan. Jangan terpengaruh dengan apa kata orang karena kitalah yang paling tahu tentang diri dan kondisi kita. Percayalah bahwa pasti ada berkat di balik semua kesulitan dan kesukaran yang kita alami dalam hidup ini. Tuhan tidak pernah tidur. Dia selalu bekerja secara sempurna bagi kita.
2. Ayub tidak menghujat Tuhan.
Penulis kitab Ayub menulis: "Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" - Ayub 1:1. Dari firman Tuhan tersebut sebenarnya Ayub tidak perlu menderita, karena hidupnya boleh dikatakan bersih. Relasinya dengan sesama secara sosial baik dan relasinya dengan Tuhan pun boleh dikatakan harmonis.
Tetapi Ayub walaupun dia tahu bahwa sebenarnya tidak ada alasan baginya untuk mengalami bencana dan musibah itu, tetapi bencana dan musibah itu sudah terjadi. Itu sebabnya ia berserah kepada Tuhan dan tetap menjaga sikap dan perkataan mulutnya. Tidak seperti istrinya yang begitu reakstif terhadap penderitaan Ayub. "Maka berkatalah istrinya kepadanya: "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah" - Ayub 2:9.
Istri Ayub gagal dalam mempertahankan sikap dan perkataannya terhadap suaminya dan juga terhadap Tuhan. Ia menggugat hidup suaminya yang saleh dan menyuruh suaminya untuk menghujat Tuhannya.
Ayub sekalipun dalam bencana, ia tetap menjaga sikap dan perkataannya terhadap Tuhannya. Ia tidak komplain kepada Tuhan. Ayub tidak menghujat Tuhan. "Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya". - Ayub 2:10. Ayub tetap self control terhadap segala sesuatu yang terjadi dan didengarnya. Ia tidak los control, namun tetap rendah hati dan belajar bersyukur dan menerima segala sesuatu yang terjadi atas dirinya sebagai bagian dari karya Allah.
Tidak ada yang bisa menolak bencana dan melarangnya datang menimpa hidup kita, tetapi kita bisa mengontrol respons hati kita terhadap bencana. Sama seperti "kita tidak bisa melarang burung terbang di atas kepala kita, namun kita bisa mengusirnya bila hendak membuat sarang di kepala kita". Mengutuki dan meratapi diri tidak akan membuat pergumulan hidup menjadi lebih mudah.
Oleh karena itu, belajarlah untuk meresponi bencana dengan benar supaya kita mendapatkan berkat terbaik lewat masa tergelap dalam hidup kita. Bencana bisa diubah Tuhan menjadi sumber berkat, asalkan kita mau menjalani ujian kehidupan yang Tuhan ijinkan. "Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu" - Ayub 42:10. Amin
Berdasarkan firman Tuhan di atas, maka kita bisa menemukan bahwa sesungguhnya kita selalu dihadapkan dengan dua hal, yaitu: Satu, hal-hal yang baik, menyenangkan, menguatkan dan segalanya berjalan dengan normal. Dua, hal-hal yang buruk, tidak menyenangkan, menyakitkan dan segalanya berjalan dengan tidak normal.
Pada umumnya, manusia selalu inginkan supaya hal-hal yang baik, yang menyenangkan, yang menguntungkan dan segalanya berjalan sesuai dengan keinginannya. Cara pikir dan cara pandang demikian, di wakili oleh istri Ayub. Memang begitulah faktanya di dalam hidup kita. Tetapi, kita juga harus memahami bahwa tidak semua berjalan sesuai dengan keinginan kita. Itulah yang dipahami oleh Ayub, sehingga bagi Ayub normalnya ialah kita harus menerima keduanya. Mengapa demikian? Karena Ayub tahu bahwa segala sesuatu ada di dalam kedaulatan, otoritas dan kekuasaan Tuhan.
Tidak banyak dari antara kita yang mengalami goncangan hidup yang berat seperti Ayub. Bencana yang secara beruntun menimpa Ayub, memang itu musibah yang tidak bisa ditolak. Harta kekayaan yang sudah diusahakan habis dalam sekejap. Anak-anak yang menjadi tumpuan sebagai penerus keturunan meninggal semuanya dalam waktu yang sama. Kesehatannya pun merosot karena penyakit ganas yang menimpa dirinya, sehingga dari kepala sampai ujung kakinya busuk semuanya.
Bencana memang musibah, tetapi di balik musibah atau bencana itu Tuhan menyediakan berkat terbaik untuk orang-orang yang percaya, setia dan mengasihi-Nya. Ayub juga mengalami bencana yang begitu beruntun menimpanya. Tetapi Tuhan mengembalikkan berkat luar biasa ketika Ayub percaya dan setia kepada Tuhan.
Dari hidup dan pergumulan serta bencana yang menimpa Ayub, kita dapat belajar bagaimana seharusnya kita memberi tanggapan atau respon terhadap bencana atau musibah yang menimpa kehidupan kita. Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil bagi kehidupan kita pada masa kini, yaitu:
1. Ayub bergumul dan tetap mengandalkan Tuhan.
Bencana atau musibah acap kali membuat banyak orang menjadi lemah dan putus asa. Bahkan musibah atau bencana yang terjadi atau menimpa kita sering dihubungkan dengan dosa oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Itulah yang terjadi dengan Ayub. Sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa bagaimana mungkin orang yang saleh, jujur, menjauhi kejahatan dan terpandang seperti Ayub bisa menderita kalau ia tidak melakukan kejahatan di hadapan Tuhan.
Karena bagi sahabat-sahabat Ayub, mustahil Allah menjatuhkan hukuman kepadanya jika ia baik-baik saja dan tidak melakukan kesalahan. Ayub tetap bergumul dan terus mencari tahu apa sesungguhnya penyebab musibah yang menimpa dirinya. Ia tidak melawan semua logika teologi yang disampaikan oleh sahabat-sahabatnya. Lebih dari pada itu Ayub tetap mengandalkan Tuhan dan terus mendekatkan diri kepada Tuhan serta setia menantikan Tuhan melakukan sesuatu dan memberikan pertolongan yang dia butuhkan.
Acap kali kita juga mengalami hal yang sama seperti dialami oleh Ayub. Mungkin Anda yang membaca tulisan ini sedang mengalami keadaan yang buruk dan sukar dalam hidupmu. Namun, jangan pernah mudur, menyerah dan putus asa. Teruslah bergumul dengan Tuhan dan tetap andalkan Tuhan. Jangan terpengaruh dengan apa kata orang karena kitalah yang paling tahu tentang diri dan kondisi kita. Percayalah bahwa pasti ada berkat di balik semua kesulitan dan kesukaran yang kita alami dalam hidup ini. Tuhan tidak pernah tidur. Dia selalu bekerja secara sempurna bagi kita.
2. Ayub tidak menghujat Tuhan.
Penulis kitab Ayub menulis: "Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" - Ayub 1:1. Dari firman Tuhan tersebut sebenarnya Ayub tidak perlu menderita, karena hidupnya boleh dikatakan bersih. Relasinya dengan sesama secara sosial baik dan relasinya dengan Tuhan pun boleh dikatakan harmonis.
Tetapi Ayub walaupun dia tahu bahwa sebenarnya tidak ada alasan baginya untuk mengalami bencana dan musibah itu, tetapi bencana dan musibah itu sudah terjadi. Itu sebabnya ia berserah kepada Tuhan dan tetap menjaga sikap dan perkataan mulutnya. Tidak seperti istrinya yang begitu reakstif terhadap penderitaan Ayub. "Maka berkatalah istrinya kepadanya: "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah" - Ayub 2:9.
Istri Ayub gagal dalam mempertahankan sikap dan perkataannya terhadap suaminya dan juga terhadap Tuhan. Ia menggugat hidup suaminya yang saleh dan menyuruh suaminya untuk menghujat Tuhannya.
Ayub sekalipun dalam bencana, ia tetap menjaga sikap dan perkataannya terhadap Tuhannya. Ia tidak komplain kepada Tuhan. Ayub tidak menghujat Tuhan. "Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya". - Ayub 2:10. Ayub tetap self control terhadap segala sesuatu yang terjadi dan didengarnya. Ia tidak los control, namun tetap rendah hati dan belajar bersyukur dan menerima segala sesuatu yang terjadi atas dirinya sebagai bagian dari karya Allah.
Tidak ada yang bisa menolak bencana dan melarangnya datang menimpa hidup kita, tetapi kita bisa mengontrol respons hati kita terhadap bencana. Sama seperti "kita tidak bisa melarang burung terbang di atas kepala kita, namun kita bisa mengusirnya bila hendak membuat sarang di kepala kita". Mengutuki dan meratapi diri tidak akan membuat pergumulan hidup menjadi lebih mudah.
Oleh karena itu, belajarlah untuk meresponi bencana dengan benar supaya kita mendapatkan berkat terbaik lewat masa tergelap dalam hidup kita. Bencana bisa diubah Tuhan menjadi sumber berkat, asalkan kita mau menjalani ujian kehidupan yang Tuhan ijinkan. "Lalu TUHAN memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan TUHAN memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu" - Ayub 42:10. Amin