Kemakmuran Yang Membawa Petaka
Kemakmuran yang membawa petaka ~ Landasan firman Tuhan dari tema tulisan saya kali ini diambil dari kitab Yehezkiel 28:1-10. Pada umumnya manusia mengatakan bahwa kemakmuran merupakan suatu berkat, keuntungan dan bukti dari sebuah prestasi atau keberhasilan yang dicapai. Seharusnya keberhasil, keuntungan dan kemakmuran itu berdampak kepada adanya damai sejahtera, sukacita dan ketentraman.
Namun, faktanya kemakmuran, keuntungan dan keberhasilan ternyata membawa petaka. Manusia yang mencintai uang lebih dari Allah dan mengukur serta menilai segala sesuatu berdasarkan harta, jabatan, kedudukan dan status sosial yang dimilikinya tentulah hal itu akan berujung kepada malapetaka. Tragis memang tapi itulah realita kehidupan. Orang menjadi bangga, sombong dan tinggi hati ketika mereka memiliki kekayaan melimpah, jabatan tinggi dan status sosial mumpuni. Mereka menjadi lupa diri dan juga kepada Tuhan Sang sumber hidup, sumber berkat dan sumber kemenangan.
Fakta di atas bukan saja terjadi pada masa kini. Hal itu sudah pernah terjadi dan telah tercatat dalam lembaran sejarah suci Alkitab khususnya dalam Perjanjian Lama teristimewa dalam kitab Yehezkiel 28:1-10. Pertanyaan penting yang harus diajukan ialah: "Mengapa kemakmuran yang seharunya membawa kesejahteraan tetapi justru sebaliknya malapetaka?" Ada beberapa jawaban yang bisa kita temukan di dalam bagian firman Tuhan tersebut, yaitu:
1. Menjadi sombong.
Raja Tirus adalah seorang pemimpin besar. Segala sesuatu ada padanya, yaitu jabatan, kedudukan, kekuasaan, kekuatan, kekayaan, pengaruh sosial dan lain sebagainya. Ia memiliki segala sesuatu yang ia butuhkan. Keberhasilannya menjabat sebagai raja seharusnya menjadikan dia pemimpin yang membawa kemaslahatan bagi diri dan rakyat yang dipimpinnya.
Namun, faktanya raja Tirus menjadi sombong, tinggi hati dan menjadikan dirinya sama dengan Allah. Nabi Yehezkiel menulis dalam pimpinan Roh Kudus terkait dengan kesombongan raja Tirus, yaitu: "Hai anak manusia, katakanlah kepada raja Tirus: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena engkau menjadi tinggi hati, dan berkata: Aku adalah Allah! Aku duduk di tahta Allah di tengha-tengah lautan. Pada hal engkau adalah manusia, bukanlah Allah, walau hatimu menempatkan diri sama dengan Allah" - Yehezkiel 28:2.
Allah Sang Raja di atas segala raja menyindir raja Tirus dan menuduh bahwa ia telah melakukan penyimpangan dan salah mempergunakan wewenangnya sebagai raja. Ia tidak tunduk kepada otoritas dan kekuasaan Allah sebagai Raja di atas segala raja, malah sebaliknya ia menyamakan dirinya dengan Allah. Tindakan itu dipandang sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan, kekuasaan dan otoritas Allah. Harusnya kerajaan Tirus mengalami kemakmuran, namun karena ulah sang raja, kemakmuran yang harusnya mendatangkan kesejahteraan berubah menjadi malapetaka.
2. Memiliki tujuan yang menyimpang.
Raja Tirus adalah seorang raja yang cerdas dan memiliki skill bisnis serta berdagang yang mumpuni. Selain itu, raja Tirus juga memiliki hikmat yang luar biasa. Bahkan dikatakan bahwa hikmat raja Tirus melebihi hikmat Daniel. Dengan sejumlah kekuatan dan potensi yang dimilikinya, raja Tirus menjadi seorang raja yang sukses, dan memiliki kekayaan melimpah.
Yehezkiel dalam pimpinan Roh Kudus terkait dengan raja Tirus yang memiliki tujuan yang menyimpang, menulis, "Memang hikmatmu melebihi hikmat Daniel; tiada rahasia yang terlindung bagimu. Dengan hikmatmu dan pengertianmu engkau memperoleh kekayaan. Emas dan perak kaukumpulkan dalam perbendaharaanmu. Karena engkau sangat pandai berdagang engkau memperbanyak kekayaanmu, dan karena itu engkau menjadi sombong" - Yehezkiel 28:3-5.
Dari ayat di atas kita menemukan bahwa raja Tirus memiliki tujuan yang menyimpang ketika mengumpulkan kekayaan. Ia mencari pupolaritas dan kemuliaan bagi dirinya saja. Setelah ia mendapatkan kekayaan melimpah ia menjadi sombong. Raja Tirus yang mengatakan bahwa ia bertakhta di tengha-tengah lautan (ayat 2) akan mati di tengah-tengah lautan (ayat 8), sehingga ia tidak dapat berkata "Aku adalah Allah" (ayat 9).
Kesombongan dan tinggi hati merupakan permulaan kejatuhan. Kesombongan dan tinggi hati menjadi musuh utama Allah. Karena Allah menentang orang yang congkak dan tinggi hati - Amsal 3:34; Yakobus 4:6.
Sama seperti raja Tirus yang menyejajarkan diri dengan Allah dan membanggakan kerajaannya tidak terkalahkan, demikian pula di zaman sekarang para pemimpin dan rakyat di negara-negara makmur ering menganggap mereka dapat menjadi seperti Allah dan boleh melakukan apa saja karena kehebatan perekomomian mereka.
Melalui firman Tuhan dalam Yehezkiel 28:1-10, Allah memberi peringatan dan mengingatkan kita secara pribadi, gereja maupun dalam skala nasional, supaya kita jangan sombong, takabur dan mengukur keberhasilan dari tolok ukur ekonomi. Sejarah membuktikan bahwa negara-negara adidaya dan maju secara ekonomi dengan mudah dihancurkan oleh Allah.
Di masa kini, banyak negara makmur, seperti Amerika, Eropa dan Asia Timur (Jepang), secara tidak terduga mengalami krisis ekonomi dan kondisi perekonomiannya sampai saat ini belum pulih.
Dalam skala pribadi, ketika kita sudah berhasil dalam karier dan mendapatkan kekayaan berlimpah, kita tidak boleh sombong dan berpikir bahwa kita mencapai semuanya berdasarkan hikmat kita sendiri, apalagi menganggap diri tidak terkalahkan. Oleh sebab itu, hiduplah dengan rendah hati dan muliakan Allah atas segala yang kita miliki serta jadilah alat berkat-Nya bagi orang lain atau sesama yang membutuhkan pertolongan kita. Amin
Namun, faktanya kemakmuran, keuntungan dan keberhasilan ternyata membawa petaka. Manusia yang mencintai uang lebih dari Allah dan mengukur serta menilai segala sesuatu berdasarkan harta, jabatan, kedudukan dan status sosial yang dimilikinya tentulah hal itu akan berujung kepada malapetaka. Tragis memang tapi itulah realita kehidupan. Orang menjadi bangga, sombong dan tinggi hati ketika mereka memiliki kekayaan melimpah, jabatan tinggi dan status sosial mumpuni. Mereka menjadi lupa diri dan juga kepada Tuhan Sang sumber hidup, sumber berkat dan sumber kemenangan.
Fakta di atas bukan saja terjadi pada masa kini. Hal itu sudah pernah terjadi dan telah tercatat dalam lembaran sejarah suci Alkitab khususnya dalam Perjanjian Lama teristimewa dalam kitab Yehezkiel 28:1-10. Pertanyaan penting yang harus diajukan ialah: "Mengapa kemakmuran yang seharunya membawa kesejahteraan tetapi justru sebaliknya malapetaka?" Ada beberapa jawaban yang bisa kita temukan di dalam bagian firman Tuhan tersebut, yaitu:
1. Menjadi sombong.
Raja Tirus adalah seorang pemimpin besar. Segala sesuatu ada padanya, yaitu jabatan, kedudukan, kekuasaan, kekuatan, kekayaan, pengaruh sosial dan lain sebagainya. Ia memiliki segala sesuatu yang ia butuhkan. Keberhasilannya menjabat sebagai raja seharusnya menjadikan dia pemimpin yang membawa kemaslahatan bagi diri dan rakyat yang dipimpinnya.
Namun, faktanya raja Tirus menjadi sombong, tinggi hati dan menjadikan dirinya sama dengan Allah. Nabi Yehezkiel menulis dalam pimpinan Roh Kudus terkait dengan kesombongan raja Tirus, yaitu: "Hai anak manusia, katakanlah kepada raja Tirus: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Karena engkau menjadi tinggi hati, dan berkata: Aku adalah Allah! Aku duduk di tahta Allah di tengha-tengah lautan. Pada hal engkau adalah manusia, bukanlah Allah, walau hatimu menempatkan diri sama dengan Allah" - Yehezkiel 28:2.
Allah Sang Raja di atas segala raja menyindir raja Tirus dan menuduh bahwa ia telah melakukan penyimpangan dan salah mempergunakan wewenangnya sebagai raja. Ia tidak tunduk kepada otoritas dan kekuasaan Allah sebagai Raja di atas segala raja, malah sebaliknya ia menyamakan dirinya dengan Allah. Tindakan itu dipandang sebagai pemberontakan terhadap pemerintahan, kekuasaan dan otoritas Allah. Harusnya kerajaan Tirus mengalami kemakmuran, namun karena ulah sang raja, kemakmuran yang harusnya mendatangkan kesejahteraan berubah menjadi malapetaka.
2. Memiliki tujuan yang menyimpang.
Raja Tirus adalah seorang raja yang cerdas dan memiliki skill bisnis serta berdagang yang mumpuni. Selain itu, raja Tirus juga memiliki hikmat yang luar biasa. Bahkan dikatakan bahwa hikmat raja Tirus melebihi hikmat Daniel. Dengan sejumlah kekuatan dan potensi yang dimilikinya, raja Tirus menjadi seorang raja yang sukses, dan memiliki kekayaan melimpah.
Yehezkiel dalam pimpinan Roh Kudus terkait dengan raja Tirus yang memiliki tujuan yang menyimpang, menulis, "Memang hikmatmu melebihi hikmat Daniel; tiada rahasia yang terlindung bagimu. Dengan hikmatmu dan pengertianmu engkau memperoleh kekayaan. Emas dan perak kaukumpulkan dalam perbendaharaanmu. Karena engkau sangat pandai berdagang engkau memperbanyak kekayaanmu, dan karena itu engkau menjadi sombong" - Yehezkiel 28:3-5.
Dari ayat di atas kita menemukan bahwa raja Tirus memiliki tujuan yang menyimpang ketika mengumpulkan kekayaan. Ia mencari pupolaritas dan kemuliaan bagi dirinya saja. Setelah ia mendapatkan kekayaan melimpah ia menjadi sombong. Raja Tirus yang mengatakan bahwa ia bertakhta di tengha-tengah lautan (ayat 2) akan mati di tengah-tengah lautan (ayat 8), sehingga ia tidak dapat berkata "Aku adalah Allah" (ayat 9).
Kesombongan dan tinggi hati merupakan permulaan kejatuhan. Kesombongan dan tinggi hati menjadi musuh utama Allah. Karena Allah menentang orang yang congkak dan tinggi hati - Amsal 3:34; Yakobus 4:6.
Sama seperti raja Tirus yang menyejajarkan diri dengan Allah dan membanggakan kerajaannya tidak terkalahkan, demikian pula di zaman sekarang para pemimpin dan rakyat di negara-negara makmur ering menganggap mereka dapat menjadi seperti Allah dan boleh melakukan apa saja karena kehebatan perekomomian mereka.
Melalui firman Tuhan dalam Yehezkiel 28:1-10, Allah memberi peringatan dan mengingatkan kita secara pribadi, gereja maupun dalam skala nasional, supaya kita jangan sombong, takabur dan mengukur keberhasilan dari tolok ukur ekonomi. Sejarah membuktikan bahwa negara-negara adidaya dan maju secara ekonomi dengan mudah dihancurkan oleh Allah.
Di masa kini, banyak negara makmur, seperti Amerika, Eropa dan Asia Timur (Jepang), secara tidak terduga mengalami krisis ekonomi dan kondisi perekonomiannya sampai saat ini belum pulih.
Dalam skala pribadi, ketika kita sudah berhasil dalam karier dan mendapatkan kekayaan berlimpah, kita tidak boleh sombong dan berpikir bahwa kita mencapai semuanya berdasarkan hikmat kita sendiri, apalagi menganggap diri tidak terkalahkan. Oleh sebab itu, hiduplah dengan rendah hati dan muliakan Allah atas segala yang kita miliki serta jadilah alat berkat-Nya bagi orang lain atau sesama yang membutuhkan pertolongan kita. Amin