BAHAYA PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Pernikahan beda agama sudah ada sejak lama. Bahkan sebelum UU No. 1/1974, pernikahan beda agama sudah terjadi. Itu sebabnya, fakta pernikahan beda agama ini tidak dapat dipungkiri. Tetapi, seandainya hukum negara melegalkan pernikahan beda agama, maka kemungkinan terbesar akan terjadi bahaya yang luar biasa. Pernikahan beda agama berpotensi terjadinya benturan-benturan dalam hidup keluarga dikemudian hari. Apa saja bahaya yang ditimbulkan oleh pernikahan beda agama itu?
1. Terjadi perbedaan nilai
Pada masa pacaran umumnya segala sesuatu terlihat indah. Semua terlihat baik, sempurna dan tidak ada hal-hal yang menjurus kepada konflik. Namun, tidak dapat disangkal, idealisme, fantasi dan realitas ternyata berbeda. Memasuki dunia nyata hidup berumah tangga tentu saja sangat berbeda. Salah satu perbedaan adalah perihal nilai yang dianut. Nilai-nilai yang dibawa masing-masing pasangan berdasarkan agamanya tentu berbeda. Bila masing-masing berpegang pada nilai-nilai yang dipegang, hampir bisa dipastikan akan memicu benturan.
Ini kisah nyata. Pengaaman seorang teman yang berada di luar pulau Jawa. Teman tersebut seorang wanita Kristen. Suaminya adalah seorang pria non Kristen. Enam bulan pertama pernikahan mereka mulai terendus ada masalah serius. Ternyata suaminya mulai melirik wanita lain. Ia mau berpoligami. Dalam keyakinan suaminya, poligami diperbolehkan asal dapat berlaku adil. Inilah nilai yang dipegang kuat sang suami. Lantas ia meminta izin kepada istrinya. Istrinya pun kaget. Ia tidak mengizinkan suaminya menikah lagi. Si istri memegang nilai bahwa pernikahan hanya sekali seumur hidup, kecuali salah seorang pasangan meninggal dunia.
Perbedaan nilai dan pandangan hidup dapat menyebabkan konflik yang tiada henti. Mereka terus cekcok bukan untuk cocok, melainkan sebagai bentuk perlawanan atas pandangan yang mereka yakini masing-masing. Akibatnya, tidak terjadi titik temu. Keduanya berego tinggi. Lalu pernikahan yang belum sampai setahun itu harus berakhir. Sangat disayangkan. Buat apa menikah, tetapi lantas bercerai? Harga yang dibayar terlalu mahal. Pernikahan seagama saja banyak masalah, apalagi berbeda agama. Ini berpotensi memicu konflik dalam keluarga. Karena itu, saya tidak pernah menyetujui pernikahan beda agama. Sebaiknya satu agam saja. Karena itulah ada istilah seiman. Ini bukan masalah fanatisme agama. Namun, mengingat hidup berkeluarga akan terus berlangsung seumur hidup, bijaksana bila sejak dini, segala potensi konflik dapat diminimalkan.
2. Anak-anak bingung
Bila anak terlahir dalam pernikahan beda agama, hal itu bisa menimbulkan kebingungan bagi anak. Apalagi salah seorang di antara orangtua memaksakan ikut agama ayah atau ibu. Kalau ini yang terjadi, pasti sungguh mengacaukan. Anak-anak belum bisa memutuskan agama apa yang harus diyakini. Biasanya sebelum anak-anak bisa memutuskan, keyakinan sang ibu diikuti oleh anak-anak. Namun, ini bisa memunculkan masalah baru, atau perang dingin di antara ayah atau ibu tersebut. Seorang anak bingung ketika guru menanyakan agamanya. Ini sungguh terjadi. Setiap Jumat, ayahnya mengajak ke Masjid. Namun, minggu pagi ibunya mengantarkannya ke Sekolah Minggu. Sebagian orang berkata justru itu baik untuk menanamkan toleransi beragama. Di satu sisi pandangan itu benar, namun di sisi lain kurang bijaksana.
Ketika memasuki dunia remaja, anak tersebut bisa bingung. Seorang psikolog mengatakan bila ingin menanamkan kebenaran (nilai-nilai) kepada anak-anak, lakukanlah sebelum anak berusia 12 tahun. Mengapa? Karena pada usia itu daya ingatnya sangat maksimal. Nah, kalau pada usia-usia itu posisi iman si anak belum jelas, nilai apakah yang akan diingat kelak? Kita perlu memikirkan hal ini secara serius. Semua orang berhak menentukan jalan hidupnya sesuai kematangan pribadinya. Tulisan ini berangkat dari realitas lapangan yang ditemui. Itu sebabya pernikahan beda agama sangat berbahaya.
1. Terjadi perbedaan nilai
Pada masa pacaran umumnya segala sesuatu terlihat indah. Semua terlihat baik, sempurna dan tidak ada hal-hal yang menjurus kepada konflik. Namun, tidak dapat disangkal, idealisme, fantasi dan realitas ternyata berbeda. Memasuki dunia nyata hidup berumah tangga tentu saja sangat berbeda. Salah satu perbedaan adalah perihal nilai yang dianut. Nilai-nilai yang dibawa masing-masing pasangan berdasarkan agamanya tentu berbeda. Bila masing-masing berpegang pada nilai-nilai yang dipegang, hampir bisa dipastikan akan memicu benturan.
Ini kisah nyata. Pengaaman seorang teman yang berada di luar pulau Jawa. Teman tersebut seorang wanita Kristen. Suaminya adalah seorang pria non Kristen. Enam bulan pertama pernikahan mereka mulai terendus ada masalah serius. Ternyata suaminya mulai melirik wanita lain. Ia mau berpoligami. Dalam keyakinan suaminya, poligami diperbolehkan asal dapat berlaku adil. Inilah nilai yang dipegang kuat sang suami. Lantas ia meminta izin kepada istrinya. Istrinya pun kaget. Ia tidak mengizinkan suaminya menikah lagi. Si istri memegang nilai bahwa pernikahan hanya sekali seumur hidup, kecuali salah seorang pasangan meninggal dunia.
Perbedaan nilai dan pandangan hidup dapat menyebabkan konflik yang tiada henti. Mereka terus cekcok bukan untuk cocok, melainkan sebagai bentuk perlawanan atas pandangan yang mereka yakini masing-masing. Akibatnya, tidak terjadi titik temu. Keduanya berego tinggi. Lalu pernikahan yang belum sampai setahun itu harus berakhir. Sangat disayangkan. Buat apa menikah, tetapi lantas bercerai? Harga yang dibayar terlalu mahal. Pernikahan seagama saja banyak masalah, apalagi berbeda agama. Ini berpotensi memicu konflik dalam keluarga. Karena itu, saya tidak pernah menyetujui pernikahan beda agama. Sebaiknya satu agam saja. Karena itulah ada istilah seiman. Ini bukan masalah fanatisme agama. Namun, mengingat hidup berkeluarga akan terus berlangsung seumur hidup, bijaksana bila sejak dini, segala potensi konflik dapat diminimalkan.
2. Anak-anak bingung
Bila anak terlahir dalam pernikahan beda agama, hal itu bisa menimbulkan kebingungan bagi anak. Apalagi salah seorang di antara orangtua memaksakan ikut agama ayah atau ibu. Kalau ini yang terjadi, pasti sungguh mengacaukan. Anak-anak belum bisa memutuskan agama apa yang harus diyakini. Biasanya sebelum anak-anak bisa memutuskan, keyakinan sang ibu diikuti oleh anak-anak. Namun, ini bisa memunculkan masalah baru, atau perang dingin di antara ayah atau ibu tersebut. Seorang anak bingung ketika guru menanyakan agamanya. Ini sungguh terjadi. Setiap Jumat, ayahnya mengajak ke Masjid. Namun, minggu pagi ibunya mengantarkannya ke Sekolah Minggu. Sebagian orang berkata justru itu baik untuk menanamkan toleransi beragama. Di satu sisi pandangan itu benar, namun di sisi lain kurang bijaksana.
Ketika memasuki dunia remaja, anak tersebut bisa bingung. Seorang psikolog mengatakan bila ingin menanamkan kebenaran (nilai-nilai) kepada anak-anak, lakukanlah sebelum anak berusia 12 tahun. Mengapa? Karena pada usia itu daya ingatnya sangat maksimal. Nah, kalau pada usia-usia itu posisi iman si anak belum jelas, nilai apakah yang akan diingat kelak? Kita perlu memikirkan hal ini secara serius. Semua orang berhak menentukan jalan hidupnya sesuai kematangan pribadinya. Tulisan ini berangkat dari realitas lapangan yang ditemui. Itu sebabya pernikahan beda agama sangat berbahaya.
Post a Comment for "BAHAYA PERNIKAHAN BEDA AGAMA"