Opportunis di Mimbar: Pastur atau Politisi? - Khotbah Kristen
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Opportunis di Mimbar: Pastur atau Politisi?

Opportunis di Mimbar: Pastur atau Politisi? ~ Dalam dunia pelayanan gerejawi, panggilan seorang pastor sering kali dianggap murni dan bebas dari kepentingan duniawi. Namun, realitasnya, beberapa pastor memperlihatkan kecenderungan oportunistik, yaitu mengejar kekuasaan, posisi, atau pengaruh dengan memanfaatkan mimbar. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah mereka masih seorang gembala yang memimpin domba-dombanya kepada Kristus, ataukah mereka telah menjadi “politisi” di tengah komunitas gereja?

Bagian 1: Tanda-tanda Oportunisme di Pelayanan Gerejawi

“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.” (1 Petrus 5:2)

Oportunisme dalam pelayanan gerejawi terlihat melalui beberapa indikator yang jelas. Di antaranya adalah: ambisi yang berlebihan untuk mendapatkan posisi tertentu dalam struktur gereja, penggunaan mimbar sebagai alat untuk memanipulasi jemaat demi keuntungan pribadi, dan praktik nepotisme dalam kepemimpinan gereja.

John Stott dalam bukunya "The Living Church" menyatakan: “Kepemimpinan Kristen bukanlah soal jabatan atau otoritas, tetapi soal pelayanan dan pengorbanan. Ambisi pribadi adalah musuh panggilan sejati seorang pemimpin Kristen.” (Stott, 2007).

Seorang pastor yang memiliki motivasi oportunistik sering kali berbicara lebih banyak tentang dirinya sendiri daripada Kristus. Mereka memanipulasi emosi jemaat untuk memenangkan dukungan, bahkan menggunakan ayat-ayat Alkitab di luar konteks untuk memperkuat agenda pribadi. Hal ini bertentangan dengan teladan Kristus yang mengajarkan kerendahan hati dan pengabdian tanpa pamrih (Filipi 2:3-5).

Bagian 2: Dampak Negatif Oportunisme Terhadap Jemaat dan Pelayanan

“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik! Sebab kamu seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang kelihatan bersih, tetapi sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan berbagai jenis kotoran.” (Matius 23:27)

Oportunisme di mimbar tidak hanya merusak integritas seorang pastor tetapi juga membawa dampak negatif yang besar bagi jemaat. Beberapa dampak tersebut adalah:

Hilangnya kepercayaan jemaat: Ketika jemaat menyadari bahwa pemimpin mereka tidak tulus, rasa hormat dan kepercayaan mereka akan terkikis.

Perpecahan dalam komunitas gereja: Pemimpin oportunistik cenderung memecah belah jemaat untuk memperkuat pengaruhnya sendiri.

Pelayanan yang tidak fokus kepada Kristus: Alih-alih membawa jemaat kepada kedewasaan rohani, pelayanan menjadi sarana untuk kepentingan pribadi pemimpin tersebut.

Dietrich Bonhoeffer dalam bukunya "Life Together" menulis: “Komunitas Kristen yang sejati dibangun di atas salib Kristus, bukan di atas keinginan manusia untuk berkuasa atau memanipulasi.” (Bonhoeffer, 1954).

Ketika gereja dipimpin oleh orang yang oportunistik, pelayanan kehilangan esensi rohaninya. Jemaat tidak lagi diarahkan kepada hubungan yang mendalam dengan Tuhan, melainkan kepada loyalitas buta terhadap pemimpin manusia. Hal ini berbahaya karena gereja dipanggil untuk menjadi tubuh Kristus, bukan kerajaan manusia.

Bagian 3: Melawan Oportunisme dengan Kembali kepada Panggilan Sejati

“Tetapi yang terutama di antara kamu haruslah menjadi pelayan. Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:11-12)

Untuk melawan oportunisme di mimbar, gereja dan para pemimpin harus kembali kepada prinsip-prinsip pelayanan sejati. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil:

Evaluasi diri dan motivasi pelayanan: Setiap pemimpin gereja harus secara rutin mengevaluasi motivasi mereka dalam pelayanan. Apakah mereka melayani untuk kemuliaan Tuhan atau untuk kemuliaan diri sendiri?

Pendidikan teologi yang mendalam: Pemimpin yang dilengkapi dengan pemahaman teologi yang benar cenderung memiliki dasar yang kuat untuk menolak godaan oportunisme.

Keterbukaan dan akuntabilitas: Gereja harus memiliki struktur yang memungkinkan adanya akuntabilitas di antara pemimpin, sehingga setiap tindakan dapat dipertanggungjawabkan.

Richard J. Foster dalam bukunya "Celebration of Discipline" menulis: “Pelayanan sejati lahir dari hati yang penuh kasih dan kerendahan hati, bukan dari keinginan untuk mendapatkan posisi atau pengakuan.” (Foster, 1978).

Ketika pemimpin gereja kembali kepada panggilan mereka yang sejati, mereka menjadi saluran berkat dan transformasi bagi jemaat. Gereja dapat kembali menjadi terang dunia yang sejati, yang memuliakan nama Tuhan dan bukan nama individu.

Isu oportunisme di mimbar adalah tantangan serius yang harus dihadapi oleh gereja masa kini. Seorang pastor seharusnya menjadi gembala yang setia, bukan politisi yang mengejar kekuasaan. Dengan memahami tanda-tanda oportunisme, dampaknya, dan cara melawannya, gereja dapat terus berjalan dalam panggilan ilahi sebagai tubuh Kristus yang murni dan tak bercacat. Semoga tulisan ini menjadi refleksi bagi para pemimpin dan jemaat untuk tetap setia kepada Kristus, Sang Gembala Agung.

Post a Comment for "Opportunis di Mimbar: Pastur atau Politisi?"